Bang Thohir, aku bukan penggemar sepak bola, apalagi bisnis media. Hubungan saya dengan media hanya sebatas gosip perselingkuhan artis, bang. Kalau bola, yah, sedikit-sedikit saya tontonlah bang. Meski jagoan saya, Brescia, cuma bermain di seri B(ecek). Bukan sekelas Inter yg di seri A(tas). Kita memang berbeda strata ya bang.
Tapi bang, meski kita sangat berbeda.
Sejak kejadian malam itu...
Aku merasa kita SATU, bang.
Malam itu bang, temanku bertandang ke rumah. Sebutlah Alberto (*nama sebenarnya). Sudah jauh-jauh hari saya undang Alberto untuk makan malam di rumah. Kasihan dia bang, baru saja di-PHK. Saat ini, semakin banyak orang2 Itali yg dirumahkan. Tiap hari ada saja perusahaan yg jatuh bangkrut. Keadaan ekonomi Eropa memang sedang ngenes-ngenesnya, bang. Tapi apalah daya, selama saya masih numpang di negara ini, saya juga harus turut prihatin.
Akhirnya datang juga Alberto. Saat kusapa, semerbak bau alkohol keluar dari mulutnya, bang. Entah berapa botol sudah ia keringkan demi meredam rasa kecewa terhadap pemerintah Italia yg tumpul, mandul. Boro-boro mencari solusi, yang ada malah memperkeruh keadaan dengan menaikkan pajak dimana-mana. Memang orang politik dimana-mana sama saja, tak di Indonesia tak di Italia. Kepentingan pribadi selalu jadi yang paling utama. Kasihan rakyat awam, kasihan Alberto bang.
Hidangan mulai aku suguhkan. Sederhana, beberapa potong cottoletta dan tumis zucchini saja. Jangan berharap ada antipasti atau dolce. Saya juga termasuk korban krisis ini, bang. Tidak separah Alberto memang, tapi perjuangan saya juga tidak bisa dibilang ringan. Apalagi saya cuma pendatang. Boro-boro di-PHK, diterima kerja saja enggak, bang.
Kami mulai menyantap hidangan seadanya. Obrolan ringan mulai dilontarkan. Dari mulai cuaca, kisah cinta, sampai akhirnya celetukan tentang kondisi ekonomi Eropa yang sedang hangat-hangat tai ayam keluar juga.
Alberto semakin kelihatan mabuk. Dengan segelas bir ditangannya dia mulai berpidato tentang kemandulan pemerintah Italia. Yang (katanya) dengan alasan krisis ekonomi mulai menjual aset-aset Italia ke tangan para pendatang. Yah, seperti kita ini lah, bang. Bedanya, abang punya banyak duit buat beli aset yg paling mahal di Itali, klub Inter yg isinya 11 pemain sepakbola yang ganteng-ganteng. Kalau saya, yah, cukup satu sajalah, bang. Meski bukan pemain bola, yang penting cukup ganteng buat aset di pelaminan.
Kembali ke topik, si Alberto mulai panas dan mulailah dia mengutuk-ngutuk para pendatang yang membeli aset-aset Italia yang tadi saya ceritakan. Memang, di mana-mana sudah berjamuran villa-villa milik Rusia, maskapai penerbangan nasional Alitalia yang jadi milik Perancis, sarana telekomunikasi Italia yang jadi milik Spanyol. Belum lagi merek-merek high-fashion seperti Bvlgari dan Gucci yang sudah lama lepas dari tangan Italia. Italia in Vendita atau Italia Diobral, jadi tagline di hampir semua berita lokal.
Abang juga sih, pakai manas-manasin keadaan.
Pakai beli Inter segala. Yang ada saya sekarang ikut dihujat sama masyarakat awam mabuk yang baru diPHK.
Tapi bang, hati ini memang tak pernah berbohong. Malam itu, meski saya sedikit kesal, tapi saya tak pernah merasa sebegitu dekat dengan abang. Apalagi saat meluncur dari mulut Alberto yang mulai melantur omongannya.
"Thohir? Siapa itu Thohir? Pakai sok beli beli Inter! Moratti itu jelas...un Signore. Kalau Thohir itu apa? Jelas-jelas beda stratanya!"
Sejak detik itu bang, satu-satunya yang ada di benak saya: Tak ada yang bisa menjelek-jelekan abang saya! Meski kita belum pernah bertatap muka bang, terbersit rasa di hati ini yg sulit saya jelaskan.
Langsung lah saya ikut-ikutan panas. Hidangan di meja memang sudah mulai dingin, dan Alberto mungkin sudah terlalu mabuk untuk mengerti pengorbanan saya memasak dan menemaninya di masa-masa sulit. Tapi bang, suara hati ini tidak bisa tertahan.
Langsung saya nyerocos, "Siapa kamu berani-beraninya menjudge Abang Thohir? Bumi ini berputar bung, kadang kamu di atas, kadang di bawah. Kalau dulu Italia sempat berjaya dengan Colombus, Marcopolo, Galileo, Michelangelo, Da Vinci dan lain-lain, sekarang mungkin saatnya giliran negara lain kan? Apalagi Da Vinci sudah mati, ninggalin kamu dan teman-teman kamu yg kena masalah sedikit langsung mabuk. Jangan salahkan Thohir kalau kamu dan negaramu sekarang mandul! Sudah untung aset-asetmu dibeli dengan duit! Tahu gak jaman perang dulu orang-orang Eropa, Spanyol, Inggris, ngambil aset-aset negara lain dengan senjata dan pistol!"
Alberto langsung diam, merincut.
Bang, saya tak pernah membela orang sampai sebegitunya. Apalagi orang itu tak pernah saya kenal secara langsung seperti abang. Tapi seperti yang saya bilang dari awal, ada sebersit rasa yang tak bisa saya jelaskan. Sebuah rasa, persatuan, rasa kesaudaraan, kekeluargaan.
Mungkin darah ini yang membuat saya merasa dekat dengan abang. Darah yang sama dengan abang, darah Indonesia. Saya merasa kita SATU bang.
Ah mungkin abang tak akan baca surat ini, tapi saya yakin abang juga punya rasa yang sama dengan saya. Jangan lupa beli pemain-pemain Indonesia ya bang, biar orang-orang Itali makin gondok. Rebut Nainggolan dari Cagliari, De Jong juga boleh, daripada semakin tumpul dia di AC Milan.
Selamat bekerja bang, semoga kita berjodoh di gang-gang Milan.
Salam satu rasa,
Amelia Rachim
WNI, Tinggal di Italia
Surat Terbuka Untuk Erick Thohir Dari Italia
Yah, seperti kita ini lah, bang. Bedanya, abang punya banyak duit buat beli aset yg paling mahal di Itali, klub Inter yg isinya 11 pemain sepakbola yg ganteng-ganteng. Kalau saya, yah, cukup satu sajalah, bang. Meski bukn pemain bola, yang penting cukup g

SURAT PEMBACA
Senin, 02 Des 2013 11:25 WIB


erick thohir beli inter milan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai