Bagikan:

Rumah Beton Kami

Ada kabar kota ini menyembunyikan orang-orang miskinnya di kolong-kolong jembatan megah. Di atasnya bukan saja melintas kendaraan bagus dan mahal.

SAGA

Jumat, 14 Des 2012 13:45 WIB

Rumah Beton Kami

rumah beton, kolong jembatan

Ada kabar kota ini menyembunyikan orang-orang miskinnya di kolong-kolong jembatan megah. Di atasnya bukan saja melintas kendaraan bagus dan mahal. Juga kecongkakan.  Berikut kehidupan warga yang menghuni “rumah beton” di  kolong jembatan bilangan Kuningan, Jakarta.

Pagi hari di Jakarta. Orang-orang sibuk bersiap. Pekerja, pelajar, pejabat, semuanya memenuhi jalan ibu kota. Sesak. Bahkan sampai malam, kota ini tak pernah tidur.

Reporter: Hallo, siapa namanya?
PSK: Ria. Mau check in?
Reporter: Check in berapa?
PSK: Short timenya 350 ribu udah sama hotel. Long timenya 700.

“Pesta” malam Jakarta, tak berlaku bagi warga kolong Jembatan Kuningan. Merekalah para pembersih sampah yang merupakan pekerja lepas dari Dinas Kebersihan Jakarta. Sejak dini hari, mereka sudah bergerak.

Mereka yang berjumlah 42 keluarga ini memang tinggal di kolong jembatan, Tepatnya di ujung Jalan Hajah Rangkayo Rasuna Said, Jakarta Selatan.  Sisi lain dari kemegahan ibukota.

“Awas kejedot. Memang keadaannya kayak begini,” terang Asep warga setempat.

Asep Saduloh, biasa dipanggil abah, sudah 25 tahun tinggal di sini. Dia mengantar kami berkeliling ke tempat yang mereka sebut rumah ini.

Reporter: Wah ini teras belakang ya Pak? Taman?
Asep: Bukan, ini tempat buat menaruh peralatan kebersihan. Sapu, pengki.

Sering kali saat melewati ruang-ruang di rumah kolong jembatan ini, kami harus menunduk. Karena jarak lantai berpijak dengan “plafon” jembatan, hanya sekitar satu meter. Waspada terjedot atau pinggul dan paha pegal.

Reporter: Ini air ya?
Asep: Air, sampah…

Rumah-rumah itu tampak kumuh. Gelap dan kurang sinar matahari. Sampah dimana-mana. Kali di bawah jembatan berair hitam. Meski tinggal di kolong jembatan, namun mereka bukan penduduk gelap.

Asep: Aktif semua di sini. Pada punya KTP semua, ada yang di Guntur, di Setiabudi.
Reporter: Oh ini ber-KTP?
Asep: Iya, kalau engga mana bisa kerja (tertawa). Orang gelap dong.

Kata Asep, tinggal di sini tak perlu keluar biaya.

Reporter: Memutuskan untuk tinggal di bawah kolong ini, kenapa Pak?
Asep: Ya karena keadaan. Kalau ngontrak kan mahal, kalau sini kan lumayan ringan.
Reporter: Di sini ngontrak?
Asep: Engga. Ya kalau di tempat lain kan ngontrak.

Warga juga dapat menikmati listrik.

Bagi anak-anak, walau tinggal di kolong jembatan, tak menyurutkan semangat mereka untuk sekolah. Anak-anak ini banyak yang bersekolah di sekitar Guntur dan Setiabudi. Butuh sekitar setengah jam untuk menempuh perjalanan.

Dean salah satunya.

Reporter: Berapa tahun umurnya?
Dean: 11 tahun
Reporter: Kelas 5 ya. Raportnya gimana?
Dean: (Ketawa) Engga tau

Di luar sekolah, anak-anak tentu suka bermain. Tapi mainnya ini di pinggir kali di bawah jembatan yang airnya hitam. Resiko kecebur bisa terjadi kapan saja.

Reporter: Gimana, dalam engga?
Anak: Ada yang dalam, ada yang cetek
Reporter: Kamu pernah kecemplung di sini?
Anak: Pernah
Reporter: Itu bukannya lumpur semua tuh?
Anak: Lumpur

Anak-anak dan warga kolong jembatan ini merupakan bagian dari Jakarta. Tapi bagaimana jaminan terhadap mereka sebagai bagian dari Dinas Kebersihan Jakarta?

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending