KBR68H - Kasus gizi buruk di Banten tercatat terbesar nomor tiga di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menyebut lebih dari lima ribu anak busung lapar. Ironisnya anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk menangani gizi buruk saban tahunnya meningkat. Sebagian kalangan curiga, kualitas kesehatan warga turun akibat anggaran kesehatan dikorupsi. Reporter Pebriansyah Ariefana pergi ke Serang memotret desa yang warganya alami gizi buruk
Gedung-gedung megah kantor pemerintah, swasta sampai pusat perbelanjaan berdiri di beberapa sudut Kota Serang, Provinsi Banten. Jalan aspal yang dilalui terasa mulus.
Pemandangan itu kontras saat memasuki Desa Masjid Priyayi, Kecamatan Kasemen, Serang. Pesawahan kering, padang ilalang dan tanah yang gersang itulah yang nampak terlihat. Jalanan desa berlubang dan berbatu. Beberapa warga setempat tengah mandi di Sungai Cibanten yang keruh.
Lokasi desa ini persisnya sekitar 4 km dari pusat pemerintahan Kota Serang, ibukota Banten. Jika menggunakan sepeda motor dapat ditempuh sekitar setengah jam.
Tangis Khairil Anwar menyambut kedatangan KBR68H saat berkunjung ke salah satu rumah warga. Melihat orang asing datang, bocah 7 tahun tersebut bergegas. Tanpa mengenakan celana, ia berjalan dengan bantuan kedua tangannya. Maklum saja kedua kaki anak itu tak bisa menopang tubuh 100 centimeternya. Nampak tulang betis dan pahanya menonjol terbalut kulit tipis.
Wajah bocah ini tirus, tulang pipinya menonjol.Ingus mengalir dari hidungnya. Perutnya buncit dengan tulang rusuk yang nampak terlihat jelas. Sang ibu, Uliyati bercerita sudah 6 tahun, Anwar menderita gizi buruk. Bocah ini juga terkena penyakit Polio dan TBC.
KBR68H: Sejak kecil Anwar nggak dikasih susu?
Uliyati: Dikasih dari bidan. Kekurangan air susu (asi) saya itu dari kecil. Dari umur bayi, 5 bulan juga disumbang susunya. Sebulan sekali suruh diambil susunya ke puskesmas.
KBR68H: Dapat berapa banyak?
Uliyati: Dapat di kardus yang kecil-kecil. Yang 250 gram, dapat 4 dus. Itu untuk sebulan.
Sebagai warga miskin, keluarga Uliyati mendapat bantuan susu dari puskesmas setempat. Namun susu itu hanya cukup untuk 1 minggu. Selebihnya Anwar hanya diberikan makan nasi dan lauk pauk seadanya. Uliyati mengaku nyaris sepanjang hidupnya, Anwar tak pernah menikmati daging saat makan.
Maklum saja suaminya yang bekerja sebagai buruh serabutan hanya berpenghasilan Rp 20 ribu perhari. Penghasilan sekitar 600 ribu perbulan habis untuk memenuhi kebutuhan 4 anak mereka. Seperti Anwar, dua kakaknya juga mengalami gizi buruk. “Dulu juga kakaknya kena gizi buruk, tapi 2 tahun sudah bisa jalan. Itu yang satunya juga 4 tahun sudah bisa jalan. Iya karena saya kurang susunya,” katanya.
Menurut Uliyati anaknya baru kali pertama diperiksa dokter. Itupun di klinik bukan rumah sakit. Sejengkal dari rumah Anwar, Neneng Afrianti juga terkena gizi buruk. Di rumah semi permanen beralaskan lantai batu bata, bocah perempuan satu tahun itu tengah bermain. Serupa seperti Anwar, badannya kurus dengan kaki kecil dan perut buncit. Selain divonis gizi buruk ia juga mengidap kelenjar getah bening.
Ibu Neneng, Mulyana mengaku sudah membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah Serang, 8 bulan lalu lewat fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tapi pihak rumah sakit menolak mengoperasi anaknya. Alasannya rumah sakit belum cukup umur. “Kalau gratis yah lama. Saya tanya umur berapa bisanya? Kata pihak RSUD, ya ibu sabar dulu, namanya juga pakai jamkesmas. Kan antre bu, banyak. Kan bukan anak ibu aja yang mau dioperasi. Makanya ibunya harus sabar, lama prosesnya. Banyak bu antre, bukan anak ibu aja, kan ibu pakai Jamkesmas,” katanya menirukan perkataan petugas rumah sakit.
Karena tak dioperasi, kelenjar getah bening yang ada di dada sebelah kiri Mulyana membengkak sebesar bola tenis.
Selain Neneng, dua kakaknya juga rentan mengalami gizi buruk. Sementara ayahnya, Halimi mengidap TBC. Saban hari, dia muntah darah. Dengan kondisi fisik seperti itu Halimi tidak bisa bekerja lama. “Kalau sekarang semakin kurang tenaganya. Kalau banyak gerak aja, nafasnya engap-engapan. Kalau tahun-tahun kemarin itu mendingan. Saya kerja di Cilegon pernah, karena keahlian saya di bidang sova,” jelasnya.
Penghasilannya sebagai buruh serabutan sebesar Rp 20 ribu perhari tak cukup untuk mengobati penyakitnya hingga sembuh.
Kemiskinan yang membekap sekitar 100 keluarga Desa Masjid Priyayi ikut berdampak kepada buruknya sanitasi. Warga terbiasa buang air sembarangan. Hal ini diakui Mulyana, istri Halimi.
Sejumlah pejabat mulai dari kepala Desa Masjid Priyayi, camat Kasemen, sampai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten saat akan dimintai tanggapannya seperti ditelah bumi .
Bekali-kali menyambangi kantornya, batang hidungnya tak terlihat.
Potret kemiskinan di Desa Masjid Priyayi terasa ironis dengan pendapatan asli daerah (PAD) Banten yang mencapai Rp 4 triliun. Sorotan lantas mengarah kepada sang Gubernur, Ratu Atut Chosyiah yang saat ini tengah dipusingkan dengan kasus suap yang menyeret sang adik, Tubagus Chaery Wardana .
Kasus suap terkait sengketa pilkada di Kabupaten Lebak tersebut tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada kecurigaan anggaran kesehatan untuk keluarga miskin di Banten ikut disunat.
Gizi Buruk di Tanah Jawara
Wajah bocah ini tirus, tulang pipinya menonjol.Ingus mengalir dari hidungnya. Perutnya buncit dengan tulang rusuk yang nampak terlihat jelas.

SAGA
Kamis, 14 Nov 2013 20:54 WIB


kesehatan, gizi buruk, korupsi, banten, ratu atut
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai