KBR68H - Membuka identitas diri karena memiliki orientasi seksual berbeda bukan hal yang mudah. Namun karena sadar gender, sejumlah waria yang ditemui KBR68H berani membuka jati dirinya kepada keluarga atau lingkungan terdekatnya. Namun tak semua pihak mau menerima keberadaan mereka dengan berbagai alasan. Sebagai bagaian kelompok minoritas, waria kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan sampai diskriminasi.
"Kita datang permisi baik-baik tapi tukang dagangnya itu enggak tahu kenapa kok dia ngeluarin pisau, gebrak ke meja tapi matanya ke aku 'kecilin gak', 'ini udah kecil kali kuping lu semana sih? teman gua masih di dalam' aku bilang begitu. Gue datang ke sini baik-baik, permisi, tamunya aja terima kok, lu jadi gua digituin mau tidak? Akhirnya dia gak terima, nyamperin aku bawa golok, 'Apa? lu mau bacok gua? bacok silahkan'. Akhirnya duit setas receh-recehan aku lemparin ke tukang dagang itu."
Itu tadi Novi. Sehari-hari dia berkeliling sebagai pengamen di kawasan Roxy, Jakarta Barat. Wanita-pria alias waria berusia 22 tahun ini mengaku kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sekitarnya. Beberapa bulan lalu, misalnya dia dan teman-temannya diusir dari rumah kontrakan mereka di bilangan Duri, Jakarta Barat karena dianggap pembawa sial. "Kebakaran dari rumah RT, gas meledak nyamber-nyamber akhirnya waria sasarannya. Lagi pengajian sempat-sempatnya kata-katanya bakar, usir, bakar, usir, katanya waria itu pembawa sial. Tergantung orangnyakan? belum tentu RTnya bener, kalau RTnya bejat bagaimana?," kenangnya.
Novi yang bernama asli Muhammad Fakhrudin tinggal di Jakarta sejak 2009. Atas ajakan temannya, dia pindah dari rumahnya di daerah Serpong, Tangerang Selatan, Banten. "Aku tuh waktu di kampung sama udah dandan juga tapi gabungnya sama janda, sama jablay nongkrong-nongkrong gitu tapi tiap ada tamu itu enggak tahu kalau aku waria, tahunya perempuan. Akhirnya ketemu sama Bella namanya, dia tinggal di sini, ketemu di sana (Serpong-red) dia buka salon, aku gak bisa salon hanya menjiwai nongkrong malam. Kata mak Bella itu tinggal sama gue aja ke Jakarta."
Penolakan kedua saudaranya atas statusnya sebagai waria juga menjadi alasan Novi meninggalkan rumahnya. "Aku mulai ngerasa hidup kayak ini dari kelas 4 SD, sudah mulai gabung sama perempuan kalau main. Jadi anak cowok pada main bola, aku main karet, main bekel gitu. Keluarga sih udah tahu, ibu bapak. Cuma kakakku yang pertama dan ketiga belum merestui aku kayak gini. Dia masih malu punya adek jadi banci kayak gini," akunya.
Novi tinggal di sebuah kontrakan sederhana bersama rekannya sesama waria. Diantaranya Alexa, asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Waria berusia 24 tahun tersebut hingga kini masih menyembunyikan identitasnya dari keluarga. "Ya back to the basic as a men. Pulang ke sana seperti yang diharapkan orang tua dan keluarga, kamu terlahir sebagai laki-laki ya berpenampilan seperti laki-laki yang sudah dikonstruksikan masyarakat di sana," katanya.
Alexa menyadari masih membutuhkan waktu untuk mendapatkan pengakuan."Aku bohong banget kalau seandainya keluarga aku gak tahu kalau aku beda. Itu kayaknya tanpa aku ngomong pasti keluarga sudah bisa menilai kalau aku itu beda dari teman-teman yang lain. Tapi kalau masalah statement (pengakuan-red) kayak gitu aku nunggu moment yang tepat ketika aku sudah mandiri secara finansial, sudah bisa memberikan kontribusi yang lumayan juga pada keluarga. Otomatis harapan aku adalah tidak apa-apa anak aku berbeda tetapi dia juga tidak menyusahkan keluarga, dia juga bisa memberikan kontribusi, dia juga bisa membantu keluarga seperti anak-anak lain."
Novi kadang sedih dan bertanya pada diri sendiri: Mengapa ia dilahirkan sebagai waria? "Kadang-kadang aku suka berpikir kalau sedang nongkrong enggak ngamen, ada pasar malam trus cowok cewek gandengan, belanja. Aku berpikir kalau aku jadi cowok begini nih atau jadi cewek begini. Kadang-kadang aku suka nangis sendiri, kok aku begini, di mata masyarakat jelek. Pengen aku waria di mata masyarakat itu sama. Sama aja kok waria dengan orang normal. Bedanya cuma kita make up doang."
Tapi masih ada waria muda seperti Muhammad Aloy alias Rere yang menerima kondisinya. "Meskipun saya sudah menjadi waria saya sempat bertanya-tanya kenapa saya seperti ini. Setelah belajar di transchool ya begini emang ada dan mereka mengakui ini gak dosa, yang dosa itu yang mengubah kayak suntik silikon atau mengubah kelamin. Kalau begini memang kita bawa seperti ini ya apa boleh buat. Jadi untuk sekarang mengeluh kenapa begini, enggak, saya enggak mengeluh dan saya bangga menjadi seperti ini."
Di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi para waria, sebuah lembaga, Sanggar Waria Remaja (Swara) berusaha memberdayakan kaum transgender seperti Alexa dan Rere.
Waria Masih Dibenci dan Terdiskriminasi
Novi kadang sedih dan bertanya pada diri sendiri: Mengapa ia dilahirkan sebagai waria?

SAGA
Selasa, 09 Jul 2013 20:26 WIB


waria, diskriminasi, swara, alexa, transgender
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai