LSM Internasional, Harapan Rainforest tengah merestorasi hutan bekas HPH di Jambi dan Sumatera Selatan. Berupaya menghijaukan kembali hutan sejak 2008, tapi tak berjalan mulus. Sengketa lahan dengan warga pendatang dan Serikat Petani Indonesia kerap terjadi. Belakangan petugas patroli mereka disandera dan pos penjaga dibakar. Lantas bisakah hutan seluas 101 ribu hektar itu kembali hijau? Reporter KBR68H, Quinawaty Pasaribu menyusuri hutan di Jambi dan menyusun kisahnya.
Konflik Warga dan Konservasi
“Hari Minggu kejadiannya tanggal 15 April 2012. Tepatnya jam 3 sore, warga datang ke pos Sungai Lalan, bukan warga tapi perambah mengatasnamakan SPI, Serikat Petani Indonesia. Datang 50-60 orang menggunakan kendaraan motor. Dari jauh mereka sudah berteriak, bakar-bakar-bakar, orangnya bunuh-bunuh.”
Itu tadi cerita Febriyan, petugas patroli Harapan Rainforest, sebuah LSM Internasional yang merestorasi hutan bekas HPH di Jambi dan Sumatera Selatan.
“Posnya sepertinya rumah panggung, di bawah ada anggota patrol. Dari jauh sudah datang berteriak mau bakar, mau bunuh, yang di bawah sudah pada lari, mungkin takut. Jadi tinggallah 7 orang termasuk saya. Mereka datang menggoyang-goyangkan rumah, ada yang mengasah parang. Mungkin untuk menakuti. Jadi sekitar jam 4, mereka minta menyandera 6 orang. karena cuma 7 orang, jadi cuma 2 orang saja yang dibawa.”
“Setelah saya sampai di pemukiman SPI, saya ditinggalkan di rumah sekalian tempat ibadah gereja di sana ada salah seorang yang dipanggil Opung, dia sesepuh yang dihormati di sana.”
“Jadi kami di dalam itu berdua sama Isroni, di kamar bagian atas. Kami disekap di situ, terus mereka mengancam.”
Apa ancamannya?
“Ada orang itu datang, mana sandera kita itu? Kita kuliti kulitnya kita jemur. Kepalanya kita campur dengan tuak.”
“Dari sore sampailah ke malam, sampai ke pagi besoknya. Mereka mengancam, kalian jangan ada yang lari dari sini, kalau kabur tanggung sendiri resikonya. Terus ada yang juga yang bilang, gorok aja leher orang itu daripada kita buang-buang tenaga mengawal orang ni. Mereka juga tanya, itu yang menahan teman-teman kami dengan 12 chainsaw, ada di mana? Kalau ada teman kami ditawan 6 orang, seharusnya kalian 6 orang juga. begitu katanya.”
Itu tadi cerita Febriyan, petugas patroli Harapan Rainforest, sebuah LSM Internasional yang merestorasi hutan bekas HPH di Jambi dan Sumatera Selatan. Insiden penyanderaan yang dialaminya merupakan buntut dari perseteruan dengan Serikat Petani Indonesia (SPI).
Sehari sebelumnya, enam petani dari SPI ditahan Polisi Hutan Provinsi Jambi. Ini lantaran mereka dituding merusak hutan dengan membuka lahan yang tengah dipulihkan. Enam gergaji mesin disita polisi.
Ketua Serikat Petani Indonesia SPI, Sarwadi.
“Kalau yang penyanderaan, itu bukan penyanderaan. Ada 6 anggota SPI yang hilang tidak diketahui sampai pada akhirnya anggota SPI yang lain mencari ke pos PT REKI. Tanya, “6 anggota kami ke mana?” oleh karyawan PT REKI dijawab, “oh di dinas kehutanan.” Sejak itu ada polisi Anggara, kita tanya gimana yang 6 ini? Setelah itu petani bilang, tolong yang 6 dikembalikan. Karena tahu di dinas, kita buat surat. Spontan menyebut, saya minta 2 orang lah untuk supaya yang 6 dikeluarkan, nanti yang 2 akan diserahkan setelah sama-sama diserahkan.”
PT REKI adalah badan hukum yang diajukan Harapan Rainforest untuk mendapat izin restorasi hutan.
Sawardi kembali mengklaim itu bukan penyanderaan. Petani hanya meminta dua petugas patroli Harapan Rainforest sebagai jaminan pemulangan 6 petani yang ditahan.
“Briptu Anggara, kemudian menawarkan diri untuk menjaga yang 2 itu, takutnya diapa-apain oleh kita. Ya silahkan, dalam surat itu tidak disebutkan akan kami sandera, hanya saja menyebut 2 orang itu dan dua orang itu kami sandera, mereka yang menulis, bukan petani yang menulis. Petani hanya menulis, yang 6 tolong dikeluarkan. Surat dikirim ke PT REKI atau ke dinas kehutanan, saya lupa.”
Kenapa mesti pakai cara seperti itu?
“Karena kami tidak yakin yang 6 akan dikeluarkan. Jadi kuatir keluarganya. Supaya yakin yang 6 dikembalikan, maka yang 2 dibawa, dikasih makan, diuruslah.”
Besoknya, Dinas Kehutanan Jambi melepaskan 6 petani yang ditahan. Dua petugas patroli Harapan Rainforest pun dibebaskan.
“Sekitar jam 12 siang besoknya kami dilepaskan, karena teman mereka yang 6 orang sudah dilepaskan oleh Polhut Provinsi. Jadi jumlah 6 orang sudah sampai di pemukiman itu, kami dilepaskan mereka. Dengan motor kantor yang dibawa, akhirnya kami pakai. Gak ada dikawal, dilepas dari gereja itulah”, kata Febriyan.
Tapi rupanya aksi penebangan hutan tak pernah berhenti. Pertengahan Mei lalu, tiga orang tertangkap tangan sedang membuka hutan. Polisi hutan kembali menyita gergaji mereka.
Kembali Anggota Patroli Harapan Rainforest Febriyan bercerita.
“Di pos yang sama di pos Lalan, kejadiannya tanggal 22 Mei 2012, itu sekitar jam 7 pagi itu kan kami mandi ke sungai Lalan, jaraknya 400 meter dari pos ke sungai. Kami mandi dengar suara chainsaw.”
“Kami masih koordinasi dengan kantor, biarkan saja dulu. Kalau kami datang, pasti kami dijebak. Mereka mancing bunyikan suara chainsaw supaya kami datang. Mereka balas aksi penahanan chainsaw itu. Jadi gak ada respon dari kami, mereka beraksi lagi, datang ke pos jam 9.”
“Mereka datang ramai-ramai itu sekitar 50an orang langsung mereka anarkis, kami ada di atas. Jadi mereka di bawah sudah anarkis, satu motor menabrakan diri ke dinding. Yang selebihnya mencincang-cincang, tempat air dijebol. Terus yang mesin-mesin dihancurkan. Motor juga diterjang dipukul pakai kayu.”
“Terus orang itu pun datang. Turun gak kalian, kalau kalian gak turun, kalian ku bacok. Kubakar. Bensin sudah ada, turun semua. Kami di atas sudah terkepung. Depan di kanan, kiri, belakang juga ada yang bawa parang, clurit, kayu.”
“Jadi kami turun berombongan ke bawah, kami dibikin kelompok. Datang yang 3 orang itu langsung mau memukuli. Saya yang dipukul pertama kali, terus ada kawannya ngikut pukul. Mereka seperti terkoordinir, ini megang ini, yang ini mukul.”
“Ada 4-5 orang yang kena pukul, termasuk saya. Terus mereka juga gak ada, mereka sudah siram bensin ke pos. Kami ngomong, pak boleh saya ambil barang pribadi. Oh jangan. Ini mau dibakar. Apa kamu juga mau dibakar? katanya.”
Febriyan menuding petani dari SPI terlibat dalam pembakaran pos ini.
Namun Ketua SPI Sarwadi mengaku tak tahu menahu. Ia malah menuding tiga orang itu adalah warga pendatang.
Seperti apa sebenarnya konflik lahan yang terjadi ?
Menyelamatkan Hutan
Luas hutan yang sedang dipulihkan Harapan Rainforest seluas 101 ribu hektar. Terdiri dari 46 ribu hektar di wilayah Jambi dan 52 ribu hektar di Sumatera Selatan. Izin restorasi pertama ini dikeluarkan bekas Menteri Kehutanan MS. Kaban pada 2005.
“Ini bekas peninggalan Asialog. Ini kalau enggak salah 2003 atau 2004 menanamnya. Baru sebesar ini, ini bulian kayu termasuk superclass yang ditebangi perambah. Terus sampai ke jalan, dekat jalan meranti. Di bawah sini rata-rata bulian.”
Asialog yang disebut petugas Harapan Rainforest itu adalah perusahaan pemegang izin HPH. Perusahaan itu mulai beroperasi sejak 1980an dan berhenti pada 2006. Baru pada 2008, Harapan Rainforest mengambil alih izin restorasi hutan bekas HPH selama 60 tahun.
Cara yang dilakukan Harapan Rainforet dalam memulihkan hutan bekas HPH itu adalah menanam kembali. Mereka melibatkan Suku Anak Dalam Bathin 9. Mereka suku asli Melayu yang kini terlibat dalam program kemitraan.
Penyelia Program Kemitraan Masyarakat, Tengku Ahmad Budi Aulia.
“Nah mereka itu membibitkan, jadi mengisi tanah ke polibag, mereka pergi ke hutan mencari anak-anak pohon karena mereka Bathin 9 mereka sangat paham. Ini jenis, ini jenis ini. Kemudian mereka tanam, satu pohon kita bayar 1000, kalau dia punya 10.000 bibit itu sudah 10 juta. Lalu kalau mereka masih punya tenaga, mereka kita persilakan untuk menanam di hutan.”
“Karena Harapan tidak sanggup juga menyediakan bibit sampai jutaan begitu sementara mereka paham dengan tanaman itu. Hasil diskusi kita dengan mereka, mereka bisa menilai yang ini cepat mati, yang ini cepat tumbuh. Dia harap hutan ini ada juga manfaat untuk dia, maka dia setting bibit yang buah-buahan, ada tampoi, durian hutan, cempedak hutan. Kalau dia tanam, hasilnya bisa dia ambil.”
Keterlibatan Bathin 9 dimulai sejak 2011. Program kemitraan ditawarkan karena Bathin 9 tinggal di area restorasi hutan Harapan Rainforest. Ada 100 warga adat Bathin 9 yang terlibat dalam usaha persemaian.
Maladewi, salah satu warga Suku Anak Dalam Bathin 9 mengaku tak mudah mencari bibit di hutan bekas HPH.
Jadi tidak langsung nemu bibit terus dikasih ya?
“Iya nunggu dulu. Pokoknya siap semua, nunggu waktunya enam bulan baru bisa panen.”
Dari semua gak semua tumbuh bagus?
“Ya gaklah, mau disisip, ada yang mati, yang gak subur diganti. Gak semua hidup itu.”
Kalau dari 5000 yang hidup berapa?
“Kalau dapat 5000, 4000 yang normal bagus hidupnya. Yang lainnya itu mati.”
Maladewi bercerita, dulu sangat mudah mencari bibit tanaman buah dan pepohonan. Bahkan kata perempuan berusia 34 tahun itu, hutan bak surga yang mampu menyediakan kebutuhan hidup.
“Dari hutan itu. Makan mencari rotan, mencari damar untuk makan. Itu yang bisa kita cari, cari ikan dijual untuk makan. Untuk sehari-hari itulah, besok cari lagi.”
Tapi dulu mencari rotan, damar mudah yah?
“Mudahlah. Orang masih hutan. Jadi apa-apa gampang kalau sekarang gak bisa lagi. hutan pun buah sudah habis. Rotan kan terbakar waktu kemarau, sekarang gak bisa lagi. kalau dulu gampang, sehari-hari untuk makan.”
Mengharapkan hutan kembali seperti semula seperti yang diimpikan Suku Anak Dalam Bathin 9, tidaklah mudah. Dari total 101 ribu hektar hutan yang sedang dipulihkan, 16 ribu hektar sudah berpindah ke tangan petani dan disulap menjadi kebun sawit.
Kepala Departemen Perlindungan Hutan, Urip Wihardjo.
“Ada fluktuasinya, bukaan besar terjadi antara 2007-2008 karena izin pengelola yang lama berakhir tidak ada pengelola yang baru itu meningkat drastis dalam setahun, tapi kemudian mereka mulai turun untuk laju kecepatan membuka setiap tahunnya.”
“Kalau siapa saja? Ini sebagian besar warga yang datang dari luar. Dari Sumatera Utara, ada dari Jawa, dari Palembang, dari Lampung, macem-macam. Kalau melihat masalah dan aksi demonstrasi yang dilakukan warga, memang di situ disebutkan ada beberapa kelompok yang terlibat mendukung aksi warga yang melakukan upaya legilitas hutan yang dirambah, itu katanya STN Serikat Tani Nasonal, SPI Serikat Tani Indonesia di situ.”
Tapi pernyataan itu buru-buru dibantah Ketua SPI, Sarwadi. Menurutnya petani sudah menggarap lahan itu sejak 2002. Sehingga tuduhan mencaplok lahan, tidaklah benar.
“Karena petani sudah menggarap sejak 2002 sampai sekarang, jadi kalau dibilang puluhan tahun iya. Alat buktinya tanaman karet sudah bisa menghasilkan, berton-ton karet keluar, dan itu tidak mungkin diberangus begitu saja. Harus ada solusi ke dinas kehutanan. Izin PT REKI katanya 46-48 rbu hektar, ya kami minta lepaskan itu, jangan dimasukan ke PT REKI, tapi lepaskan ke masyarakat.”
Lataran merasa datang lebih dulu, wajar jika petani menolak digusur dari lahan mereka.
“Ya menolak lah pertama tidak ngerti kenapa kemudian ada PT? Sementara kami di sini tidak dikasih tahu kalau ini akan dijadikan apa. Tahunya mereka ngusir karena dan dijadikan hutan harapan rainforest. Disuruh keluar tapi banyak yang melawan, tidak ada yang mau keluar, justru makin banyak masyarakat.”
Kepala Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Jambi, Erizal tak bisa berbuat apa-apa. Ia justru menyerahkan persoalan sengketa lahan ini ke Harapan Rainforest dengan menawarkan kemitraan pada para petani.
“Untuk yang sudah ada konsesi, itu formatnya kemitraan. Kalau di luar konsesi, di hutan produksi, program kehutanan dengan HTR Hutan Tanaman Rakyat, 1 kk boleh 15 hektar dikasih izin 90 tahun. 15 hektar lumayan, asal jangan ditanami sawit saja.”
Sosialisasi hingga tawaran kemitraan menurut Kepala Departemen Perlindungan Hutan, Urip Wiharjo sudah pernah dilakukan. Tapi tawaran itu ditolak mentah-mentah Serikat Petani Indonesia. Urip menilai Pemprov Jambi lepas tangan atas persoalan konflik lahan.
“Terhadap kawasan ini harus jelas betul. Bahwa pemerintah harus tegas mengatakan, ini kawasan hutan yang tidak boleh diganggu dan mereka harus berdiri di depan untuk menyelesaikan itu. Bukan menjadi seolah-olah karena izin diberikan kepada kami, kamilah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Pemerintah berdiri di depan dan bersama kita menyelesaikannya. Kalau masyarakat ini harus keluar atau ada program dalam kehutanan sosial, mereka yang punya regulasi.”
Sementara petani bersikeras agar kawasan yang telah mereka kuasai dilepaskan dari konsesi restorasi hutan Harapan Rainforest. Ketua SPI, Sarwadi.
“Jadi permintaan petani kalau yang namanya minta, pelepasan kawasan tanah kehutanan menjadi area penggunaan lain. Tapi kami sadar itu kan tidak secepat yang kita bayangkan, tapi bagaimana petani masih bisa mengelola, fungsi hutan kami siap menjaga. Kami memang tidak boleh menanam sawit di sana, jadi karet. Karena diyakini yang menguntungkan karet dicampur tanaman lain. Yang penting tanah itu dikuasi petani dan mereka bisa hidup di situ.”
Tak berujung titik temu, Harapan Rainforest bakal menambah jumlah petugas patroli hutan. Merekalah yang bakal memantau perusakan hutan. Kembali Urip Wiharjo.
“Kalau saya lihat ancaman yang terjadi sekarang cukup banyak, di mana kelompok perambah juga terorganisir kemudian mereka melakukan upaya untuk melawan upaya hukum. Memang fungsi patrol selain melakukan rutin pemantauan juga kita akan bekali mereka kemampuan untuk sosiasiliasi, negosiasi dalam upaya memberikan penyadaran dan upaya mencegah penambahan perluasan, kemudian didapat upaya menyelesaikan permasalahan. Dengan besar masalah yang terjadi dan kelompok yang banyak, saat ini saya pikir akan menambah jumlah pengamanan 150 personel untuk mencoba menghambat pertambahan pembukaan hutan.”
Sedangkan bagi warga Suku Anak Dalam Bathin 9, hutan sebagai tempat tinggal mereka harus bisa kembali pulih seperti semula. Persis seperti berpuluh-puluh tahun lalu, tutur Maladewi.
“Ya kayak mana lah gitu, kalau bisa kan balik semula hutan seperti semula biar kita senang.”
Seperti bayangannya hutan ini?
“Enggak tahulah, kayak gimana bayanginnya. Kalau bisa kayak dulu bagus lagi. Bikin buah jadi, bisa kita kayak kemarin, bisa cari rotan, cari damar. Kayak dulu nenek moyang dulu, jadi gampang mencari dalam hutan. Kalau hutan bagus, kan banyak. Kalau sekarang? mano hutan bagus, makanya mau ditanam lagi, biar bagus. Kalau sekarang beginilah, mau cari bibit saja susah. Kayu habis.”
Cerita ini disusun hasil fellowship Inter Press Service Asia Pasific Climate Change 2012 : Sebuah Laporan dari Asia.
Restorasi Hutan Jambi
LSM Internasional, Harapan Rainforest tengah merestorasi hutan bekas HPH di Jambi dan Sumatera Selatan. Berupaya menghijaukan kembali hutan sejak 2008, tapi tak berjalan mulus. Sengketa lahan dengan warga pendatang dan Serikat Petani Indonesia kerap terja

SAGA
Jumat, 12 Jul 2013 15:21 WIB

restorasi, hutan, jambi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai