Bagikan:

Perempuan di Peradilan Adat Aceh

Peradilan adat Aceh yang mulai dikembangkan kembali sejak peraturan daerah atau qanun Aceh disahkan berapa tahun lalu, banyak menyelesaikan kasus tindak pidana ringan dan kekerasan dalam rumah tangga.

SAGA

Jumat, 12 Jul 2013 20:21 WIB

Author

Yudi Rachman

Perempuan di Peradilan Adat Aceh

peradilan adat, Aceh, KDRT, Mahkamah Syariah, Majelis Adat Aceh

KBR68H - Perempuan Aceh rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Para aktivis LSM bersama peradilan adat mulai memberdayakan sejumlah perempuan. Merekan dilatih ikut terlibat menyelesaikan masalah domestik rumah tangga lewat peradilan adat.  KBR68H bertandang ke Serambi Mekah berbincang dengan perempuan korban KDRT yang merasakan manfaat peradilan adat.   

 Sekitar tiga puluhan  perempuan berkumpul  di sebuah ruangan Kampung Lambaro Kaphe, Kabupaten Aceh Besar. Di dalam ruangan seluas 50 meter persegi, mereka berbincang dengan bahasa daerah setempat. Siang itu mereka tengah menghadiri pertemuan  yang membahas peradilan adat  yang difasilitasi Badan PBB untuk Pembangunan UNDP dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,  Bappenas bekerjasama dengan Majelis Adat Aceh.
 
Peradilan adat Aceh yang mulai dikembangkan kembali sejak peraturan daerah atau qanun Aceh disahkan berapa tahun lalu, banyak menyelesaikan kasus tindak pidana ringan dan kekerasan dalam rumah tangga.
 
Salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pernah  merasakan manfaat peradilan adat adalah Cut. Perempuan bertubuh mungil  ini minta nama aslinya tidak disebutkan.  Mengenakan kerudung orange, dibalut pakaian dan rok panjang  berwarna senada, ia  bercerita lirih tentang kasus yang menimpanya. 

“Waktu itu saya dengan mantan suami, kasusnya kasus kecil terjadi pemukulan sekali dua kali terus saya lapor ke orang tua kampung atau Imam Gampong diselesaikan secara adat untuk didamaikan. Sudah sekali dua kali setelah itu karena tidak ada titik temu dan akhirnya sampai ke peradilan agama atau mahkamah syariah,” ceritanya.
 
Selain ringan tangan sang suami kata Cut kerap memakai narkotika dan obat terlarang (narkoba). Karena tak tahan lagi ia mengadu kepada orang yang dituakan di kampungnya.

“Awalnya sih tidak, awalnya sih saya tidak menggunakan peradilan adat karena saya berfikir dari pada saya bercerita ke tetangga dan saudara tidak pernah menyelesaikan masalah. Alangkah bagusnya saya datang ke orang tua Gampong namanya pak Imam. Dia akan memberikan alternatif yang terbaik buat saya dan keluarga saya. Kira-kira sekitar 3 bulan proses penyelesaiannya dan waktu itu sebelum saya menggugat ke pengadilan agama pernah dilakukan mediasi dan pernah membuat surat perjanjian.Saya yang minta dibuatkan surat perjanjian, jika nanti terulang lagi saya berhak untuk menggugatnya”
 
Surat perjanjian  mengatur 4 hal untuk sang suami. “ Saya bilang begini, boleh saya kembali lagi dengan suami saya asal dia berubah, tetapi  itu inisiatif saya oh boleh katanya, saya minta dibuatkan, apa yang kamu minta kan begitu. Saya hanya minta empat waktu itu, pertama saya minta tidak meninggalkan sholat, jangan menggunakan narkoba, tiga jangan suka mengeluarkan kata-kata kotor, keempat jika ada masalah diselesaikan di rumah jangan diselesaikan di luar. Surat itu ditandatangani pak Keuchik, Pak Imam, KUA, saya dan bekas suami,” jelasnya.
 
Ingatan Cut masih kuat. Meski peristiwa memilukan tersebut telah terjadi delapan tahun silam.  Mediasi dengan bekas suaminya berlangsung dua kali.  “Kita hanya di rumah pak Imam kampung, kita tidak buat peradilan begitu  karena waktu itu kejadiannya tahun 2005. Jadi kita tidak buat peradilan kaya contoh simulasi di sini, tidak ada itu, hanya saya dipanggil pak Imam, terus mantan suami dipanggil pak Imam, didamaikan begitu saja, itu yang pertama. Keduanya disidang di kantor KUA, di situ ada Keuchik atau lurah di kampung kami tinggal dan pak Imam di kampung kami tinggal”
 
Namun persoalan rumah tangga Cut tak tuntas. Ia akhirnya bercerai.  Kasus lain yang mampu ditangani  peradilan adat adalah  pembagian harta gono-gini dan pengasuhan anak. Kasus itu terjadi di sebuah kampung di Aceh Besar. Peristiwa ini menimpa keluarga yang sudah berumah tangga selama 10 tahun. Saat bercerai mereka memiliki tiga orang anak.  Proses penyelesaian kasus mereka disimulasikan oleh  Usman dan Aminah. 
 
Dalam perkara tersebut Usman adalah seorang suami yang malas bekerja dan suka mabuk-mabukan. Ia juga kerap pulang pagu dan memukul sang istri, Aminah.  Kasus rumah tangga ini kemudian diselesaikan melalui peradilan adat dan Mahkamah Syariah.  Peradilan adat selesaikan masalah pembagian harta gono gini, sementara perceraian diselesaikan Mahkamah Syariah.  Dalam perkara ini hak asuh anak dan sebagian besar harta diserahkan kepada Aminah.
 
Keberadaan peradilan adat telah memberikan manfaat bagi sebagian warga Serambi Mekah seperti Cut. Selain murah dan tak berbelit-belit proses penyelesaiannya pun mudah.  “Kalau menurut saya sih tidak rumit, karena suka-suka hati kita dia mau ikuti kita. Saya dibilang sama pak Imam, kamu dengar saya, ok saya dengerin bapak. Kalau apa yang dibilang sama Pak Imam saya dengar, Pak Imam juga akan memberikan jalan yang lurus dan akhirnya Pak Imam juga yang jadi saksi saat saya di Pengadilan Agama,”katanya.
 
Peran perempuan Aceh ikut serta menyelesaikan persoalan domestik rumah tangga melalui peradilan adat terus didorong. Namun tak mudah mewujudkannya. Mengapa?
 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending