Bagikan:

Seabad Pendekar HAM Yap Thiam Hien

Semasa hidupnya ia dikenal sebagai sosok pengacara yang gigih melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yap dikenal sebagai sosok antikomunis. Namun ia teguh membela Wakil Perdana Menteri, Soebandrio yang dituding mendukung PKI.

SAGA

Senin, 17 Jun 2013 20:07 WIB

Seabad Pendekar HAM Yap Thiam Hien

Yap Thiam Hien, Jakarta, HAM, Pengacara, Hukum

KBR68H - “Hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh”. Prinsip ini yang dipegang pengacara Yap Thiam Hien.  Semasa hidupnya ia dikenal sebagai sosok pengacara yang gigih melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yap dikenal sebagai sosok antikomunis. Namun ia teguh membela  Wakil Perdana Menteri, Soebandrio yang dituding mendukung PKI. Seabad kelahiran pembela hak asasi manusia itu,  KBR68H menemui keluarga dan tokoh yang pernah dekat dengannya.

Sabtu, awal Juni lalu, pelataran Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi, Jakarta Pusat dipadati seratusan orang. Mereka bukan hendak mengikuti kebaktian, tetapi untuk mengenang pejuang hak asasi manusia, Yap Thiam Hien yang wafat karena pendarahan aorta di Brussel, Belgia  25 April, 24 tahun silam.

Di antara mereka, anak pertama Yap Thiam Hien, Yap Hong Gie dan Yap Hong Ay tampak duduk di kursi panjang paling depan. Mereka tampak serius menyimak materi yang disampaikan empat narasumber tentang sepak-terjang sang ayah membela hak azasi manusia. Diantaranya adalah Todung Mulya Lubis dan Siti Musdah Mulia.

“Membela semua kelompok yang mengalami ketidakadilan dari penguasa atau mereka yang mendapatkan perilaku yang zalim dari masyarakat. Saya membaca luar biasa orang seperti pak Yap. Kata pak Yap yang paling indah adalah keadilan itu harus ditegakan, meski langit runtuh. Ini kan tidak gampang,” kata Musdah.

Bagi Yap, Gereja Samanhudi bukanlah tempat asing. Karena dia salah satu pendiri  rumah ibadah tersebut. Menurut Yap Hong Ay, ayahnya kerap memberikan ceramah mengenai hukum dan hak asasi manusia kepada jemaat di sana.  “Kita itu tidak boleh takut untuk membela kebenaran. Bila kita merasa itu benar, kita harus perjuangkan, kita harus vocal, jangan diamkan. Karena kalau kita diamkan, kita dosa. Tetapi, kadang-kadang juga ayah saya merasa bahwa kebenaran itu tidak berada di area abu-abu. Kebenaran itu putih atau hitam. Tidak ada kompromi. Namun, di situ ayah saya, kami merasa benturan. Karena kebenaran itu belum tentu baik, baik belum tentu benar. Jadi, ayah saya merasa bahwa kalau benar perjuangkan,” jelas Yap.

Pertalian Yap dengan Gereja bermula pada 1931. Saat itu, Yap menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas Belanda (AMS) dan indekos di rumah pemeluk Kristen Protestan, Hermann Jopp dan isterinya Nell O’Brien di Jalan Magelang, Yogyakarta.


Baru pada 1938, Yap resmi menganut Kristen Protestan dan merelakan dirinya dibaptis di Gereja Patekoan, Jakarta Barat.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending