Bagikan:

Suara Kepedihan Korban Mei 98

Meski usia mereka melewati setengah abad, tapi ingatan akan peristiwa memilukan itu tak pernah pudar. Saat amuk massa melanda ibukota, keduanya mencari anak laki-laki mereka.

SAGA

Selasa, 14 Mei 2013 18:49 WIB

Suara Kepedihan Korban Mei 98

Kerusuhan, Mei, Reformasi, Jakarta, Ruminah

KBR68H - Hari ini lima belas tahun silam. Jakarta dan sejumlah kota besar seperti Medan dan Surabaya  dilanda rusuh. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai ratusan orang.  Juga dilaporkan terjadi praktik kekerasan seksual kepada kelompok etnis minoritas pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Hingga kini belum ada upaya serius dari pemerintah mengungkap dan menyeret dalang dan pelaku  kejahatan kemanusiaan tersebut ke meja hukum.  KBR68H merekam suara korban yang terus berharap keadilan 

“Rembyak: Dari awal sampai sekarang, makanya pemerintah enggak diperhatiin, seakan mau dihilangkan, dihapus.
KBR68H: Ibu merasa begitu?
Rembyak: Iya makanya punya pikiran begitu, enggak diperhatiin sama sekali. Korban Mei ini kan susah semua. Enggak cukup begitu, nyawa orang. Nyawa kucing saja ada yang ngubur. Kok nyawa manusia begini saja…”

“Ruminah: Bagaimana ya, perasaan kalau saya kalau belum yang orang gede belum tanggungjawab, perasaan kalau saya belum mati akan terus ngomong. Rasanya dihati masih ngeganjel, kalau pun lagi senang kalau hati kayaknya kita kayak gini bener. Kadang mikir, ini diam-diam aja, kita punya peristiwa diam saja. Seolah kita tidak punya Presiden. Iya begitu, ya ampun kayak enggak punya pemimpin. Peristiwanya ada kok enggak diurusin. Dicari kek korbannya. Suka sedih kalau ketemu korban, ada yang suaminya meninggal. Pokoknya banyak deh.”

Rembyak dan Ruminah adalah keluarga korban kerusuhan 13-15 Mei 1998.  Kerusuhan ini dipicu akibat krisis ekonomi dan penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta  yang tewas terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Meski usia mereka melewati setengah abad, tapi ingatan akan peristiwa memilukan itu tak pernah pudar. Saat amuk massa melanda ibukota, keduanya mencari anak laki-laki mereka.

“Jam setengah lima, dia kejadiannya itu baru ketemu. Temannya banyak nyariin. Pas itu ada yang kasih tahu, si Untung digotong, enggak sadar. Kalau temannya ada yang selamat. Tapi si Untung enggak sadar, jatuh dari atas panik karena asap. Saya terus cari. Saya digotong pulang. Pada ke rumah sakit. Saya kirain iya, si Untung enggak apa-apa. Pas ke rumah sakit di Pondok Kopi. Saya lihat, sudah ditidurin di rumah sakit, diinfus. Ya sudah kritis. Enggak sadar-sadar. Orang lain juga pada nangis-nangis. Dokter suruh berdoa saja. Sampai malam, dari jam 5 sampai setengah 2 pagi, enggak sadar. Mukanya saya ciumin, tapi enggak sadar. Pas itu setengah 2, bergerak. Pas itu ngeluarin darah beku dari mulut, terus malah menghembusin nyawa itu. saya kira sadar, pas itu ngembusin nyawa. Saya panggil, enggak ada suara apa-apa,” cerita Ruminah.

Ruminah melanjutkan kisah sedihnya, “Igun jangan tinggalin mama, lari terus. Kalau hati saya anak tujuh di sana, enam ketemu, yang adiknya Lisme ketemu, tapi celana dalamnya saja. Orangnya enggak ada, cuma mamanya nyari juga. tapi di rumah sakit ketemu. Saya bajunya saja. Anaknya enggak ada. haduh, kemana ya, ikut ke Pondok Rangon, mau tahu penguburannya. Dari RS Cipto, ada kaki atau tangannya atau mukanya. Banyak yang kentara kalau anak saya enggak ada apa-apanya. Saya mau minta kuburannya. Bajunya dikubur saja. Saya kan nangis saya, saya minta kuburan. Masa saya ngelahirin ngandung, gedean anak, masa enggak ada jenazahnya.”

Rembyak kehilangan Untung Surono yang kala itu usianya 24 tahun. Bagi nenek tujuh cucu ini, anak sulungnya itu adalah tulang punggung keluarga. Sedangkan Ruminah, harus merelakan Gunawan yang berusia 16 tahun.

“Anak saya yang dari kecil, sampai umur 24 tahun, makan hasil kerja dia. Kalau ingat itu, saya enggak akan begini. Saya sekarang numpang sama anak. Saya sampai ngutang ke rentenir untuk dagang untuk hiburan, tapi sampai sekarang belum lunas. Ingat itu terus. Sampai bapaknya meninggal enggak bisa ngapa-ngapain,” kata Rumbyak lirih.

Lain lagi  kenangan Ruminah, “Naik kelas 6 mau SMP. Sudah senang beli baju SMP. Pas 98 saya beliin bahan, karena badannya gede. Ya sudah saya jahitin. Terus beli dasi sudah lengkap, sudah daftar doang, eh anaknya enggak ada tuh.”

Bagaimana kondisi anak mereka saat kerusuhan melanda ibukota?

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending