Bagikan:

Perjuangan Rakyat Pubabu Besipae

Masyarakat adat menuding dinas kehutanan justru membabat hutan. Pada 1982, sebagian hutan digunakan untuk proyek peternakan bekerja sama dengan perusahaan Australia dengan masa kontrak 25 tahun. Pohon-pohon besar menghilang.

SAGA

Rabu, 17 Apr 2013 17:44 WIB

Author

Arin Swandari

Perjuangan Rakyat Pubabu Besipae

Goldman Environmental Prize, Pubabu Besipae, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

Apa yang tak bisa dibuat tak akan dijual. Karena hutan, tanah, air dan batu tak bisa dibuat maka Suku Molo dan Pubabu Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tak akan pernah menjual sumber alam itu. “Belilah meja, akan kami buatkan, belilah padi biar kami tanam.” Begitu mereka berseru kepada sejumlah perusahaan tambang yang ingin mencabik-cabik gunung dan hutan mereka. Reporter Arin Swandari menemui mereka setahun lalu. PortalKBR merilis cerita ini kembali sebagai penghormatan terhadap rakyat Timor Tengah Selatan, dan Mama Aleta yang meraih penghargaan internasional Goldman Environmental Prize 2013.

Masyarakat adat di Molo akhirnya bisa mengusir perusahaan tambang dari tanah mereka. Sementara masyarakat adat Pubabu Besipae di Amanuban Selatan masih harus berjuang hingga sekarang. 

Perjuangan Pubabu Besipae

Siang itu, puluhan warga dan tokoh adat Pubabu Besipae di Amanuban Selatan sudah berkumpul, tamu pun telah tiba. Pertemuan segera dimulai.

Masyarakat Besipae tengah memperjuangkan tanah adat seluas 6000 hektar yang diklaim oleh Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dan Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat adat menuding dinas kehutanan justru membabat hutan. Pada 1982, sebagian hutan digunakan untuk proyek peternakan bekerja sama dengan perusahaan Australia dengan masa kontrak 25 tahun. Pohon-pohon besar menghilang.

Niko Demos, salah satu tokoh masyarakat setempat.

“Saya minta ke bupati agar masyarakat mendapat 20 kali 40 meter per keluarga agar bisa jaga hutan. Tapi Bupati bilang, kau jangan jerat saya dengan masalah ini. Lalu teman saya ini Boy mengatakan pada bupati, Bapak bukan sapi, jadi tak mungkin, kami jerat. Kami terpaksa bilang seperti itu.”

Awal Februari 2012 Niko dipukul sekelompok orang. Kata Niko saat itu, ia bersama warga berladang di tanah adat yang diklaim sebagai tanah pemerintah.

“Kalau kasus penganiayaan kejadiannya tanggal 2 Februari. Waktu itu saya sedang aktivitas di kebun bersama didatangi orang yang mengaku dari Polsek Amenuban Selatan.”


Bersambung Ke Bagian IV

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending