Perempuan asal Provinsi Nusa Tenggara Timur Aleta Baun yang lebih dikenal dengan Mama Aleta meraih penghargaan lingkungan hidup Goldman Environmental Prize 2013 bersama sejumlah orang lainnya yang mewakili enam kawasan benua. Perwakilan Goldman Enviromental Prize 2013 di Indonesia Dita Ramadhani menyebut perempuan yang berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT ini mendapat penghargaan atas upaya penyelamatan lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat Mollo. Setahun lalu, reporter Arin Swandari menemui perempuan pelawan ini, menyusun ceritanya dan menyebarluaskan kisahnya melalui KBR68H. PortalKBR mempublikasikan ulang untuk Anda.
KBR68H - Batu, air dan pohon bukan sekadar nama atau benda bagi masyarakat di pulau Timor. Nama marga ada pada karunia alam itu. Saat pohon ditebas, gunung dipotong dan air berhenti mengalir, akibat tambang atau penebangan hutan, identitas akan hilang. Perempuan, bernama Aleta Ba’un, melawan. Demi batu, hutan dan tanah airnya.
Perempuan Adat Pejuang Lingkungan
Pertemuan sudah dibuka, tamu pun telah disambut. Ini pertemuan masyarakat Adat Pubabu Besi Pa’e di Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Ada satu perempuan yang selalu lantang berbicara di antara puluhan orang yang berkumpul siang itu.
Perempuan itu, Aleta Ba’un dari suku tetangga, Molo. Dialah pemimpin pertemuan.
“Baik ibu bapak di Amanuban Selatan sebenarnya banyak persoalan, bukan hanya hutan Besi Pae, tapi juga kekeringan. Sering tiap tahun hujan di Utara dan Timur, tapi di sini tidak. Yang mereka dapat banjir, diare, demam berdarah dan malaria.”
Aleta Baun memberi semangat bagi para pemuda, tokoh adat, dan warga Pubabu Besi Pa’e, termasuk para perempuan. Mereka sedang berjuang merebut kembali tanah adat yang diklaim Dinas Kehutanan untuk proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan. Dinas Peternakan juga mengklaim tanah adat itu untuk proyek peternakan sapi. Selain itu ada rencana tambang migas oleh perusahaan lokal PT Eni West Timor akan masuk di sana.
“Sedangkan kita kelompok, kita harus kerja, jangan sampai bikin kosong lokasi, saya juga akan minta izin bikin kebun di sini. Kalau migas masuk saya akan tinggal. Karena begini, jangan sampai kita takut, kita bukan pendatang, lahir besar di sini, nenek moyang sudah kasih nama, kampung, dan tanah. Kita salah kalau kita tebas habis.”
Ini bukan perjuangan pertama Aleta Baun bersama masyarakat adat yang ingin menjaga batu, hutan, tanah dan air mereka dari cengkeraman usaha tambang. Aleta Ba’un memulai perjuangan sejak 1999.
Saat itu, kampungnya Molo Utara didatangi PT Karya Asta Alam milik pengusaha Thailand. Perusahaan itu mencabik-cabik Gunung Batu Nausus dan Gunung Batu Anjaf untuk dijadikan potongan-potongan marmer.
“Hutan habis, debit air berkurang, semakin banyak bencana, tanah longsor. Lalu tahun 1999 saya tergerak mengorganisir tokoh adat, untuk kami bisa lawan mereka. Kami beberapa orang bergerak sendiri, lalu bias mengumpulkan 12 kampung dengan jumlah 300 orang.”
Aleta memimpin perlawanan di Nausus.
Meski Gunung Nausus sempat terpotong, tapi perusahaan tambang marmer bisa diusir dari sana.
“Perjuangan kami satu tahun investor kami kalahkan, investor pulang, kami yang menang. Meskipun izin belum dicabut total, tapi perusahaan tak bisa beraktivitas. Prinsip kami masyarakat adat, mau berbelit sampai kapan pun, kau tidak bisa raba-raba kami punya barang.”