Bagikan:

Teladan Toleransi dari Desa Banuroja

Toleransi di Titik Nadir. Itulah penilaian yang diberikan LSM Hak Azasi Manusia, Human Right Watch terhadap kehidupan beragama di negeri ini. Belum terjaminnya kelompok minoritas bebas beribadah jadi satu sebabnya. Belum lagi konflik atas nama agama. Ta

SAGA

Jumat, 22 Mar 2013 14:18 WIB

Author

Novri Livinus

Teladan Toleransi dari Desa Banuroja

toleransi, beragama, gorontalo

KBR68H- Toleransi di Titik Nadir. Itulah penilaian yang diberikan  LSM Hak Azasi Manusia,  Human Right Watch terhadap kehidupan beragama di negeri ini. Belum terjaminnya kelompok minoritas bebas beribadah jadi satu sebabnya. Belum lagi konflik atas nama agama. Tapi masih ada teladan beragama yang dipraktikan warga Desa Banuroja di Gorontalo yang dikunjungi  KBR68H.

“Islam sendiri kan agama rahmatan lil 'alamin. Mengajak untuk damai, untuk tenteram, sejahtera. Mengajak permusuhan, kayak demo, dan sebagainya, itu sebenarnya bukan jiwa Islam. Orang suka demo, ribut sana, apalagi yang bakar-bakaran, itu bukan jiwa Islam…” jelas  Abdul Ghofir Nawawi. Dia merupakan pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Desa Banuroja, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Butuh  sekitar enam jam perjalanan darat dari Kota Gorontalo menuju desa ini . Toleransi  beragama  begitu dijunjung tinggi.

Banuroja kependekan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa. Penduduk di desa ini banyak berasal dari daerah  tadi, ujar Ghofir.  Mereka adalah  transmigran yang menetap sejak 2002 silam.  “Ada rapat, dan ada beberapa nama (waktu itu). Ada Banuroja, Jabanur, dan sebagainya. Singkatan dari etnis yang ada di sini. Sehingga kita ambil Banuroja, yang artinya generasi yang optimis. Itu kan dari bahasa Arab. Cuma dari segi perkata, Ba: Bali, Nu: Nusa Tenggara, Ro: Gorontalo, Ja: Jawa,” jelas Abdul.

Simbol toleransi beragama tercermin dari  berdirinya masjid,  pura utama, dan  gereja. Di Banuroja, pembangunan rumah ibadah mendapat dukungan warga sekitar, kata pendeta  umat Kristiani,  Jeser Singon. “Jadi ketemu dengan Pak Ghofir dan guru-guru yang ada. Dia tanya, ‘ada perlu apa pak pendeta?. Saya bilang, saya mau bangun gereja. Bahan-bahannya sudah ada. Saya ini menghormati Bapak Ghofir sebagai tokoh yang ada di sini, jadi saya sekedar menyampaikan. Karena saya anggap hubungan kita baik sekali. Akhirnya dia katakana, ‘oh engga apa-apa, bangun saja. Engga ada, engga ada masalah.”

Pintu masuk desa ini ditandai dengan sebuah pura yang berdiri di depan rumah warga. Hampir setiap rumah warga Hindu membangun pura di halaman depannya. Jumlahnya bisa mencapai lebih dari tiga puluhan.

Bagaimana kehidupan antar umat beragama di Banuroja?

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending