KBR68H - Belasan pengacara muda berkomitmen membela kaum tuna hukum. Mereka bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Street Lawyer atau pengacara jalanan. Tak jarang mereka menolak bayaran saat menangani klien tak mampu.
Bangunan di pinggir jembatan jalan layang di Kampung Melayu, Jakarta itu nampak kusam. Kaca pintu berwarna hitam terlihat sudah retak. Stiker bertuliskan 'LBH Street Lawyer' mulai tertutup debu. Itulah gambaran kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Street Lawyer yang sederhana. Ruangan kerja kantor dua lantai itu relatif sempit, 5 kali 5 meter.
Siang itu, Oktavianus bersama beberapa pengacara Street Lawyer tengah berdiskusi dengan salah satu klien mereka. Ida dan Yuyu, dua ibu warga Kampung Pulo, Jakarta Timur tengah meminta bantuan pembelaan hukum. Dua anak mereka dituduh terlibat kasus pencurian kendaraan bermotor disertai kekerasan. Dedi dan Iyan ditahan di sel, Polsek Duren Sawit, Jaktim. Diduga anak seorang aparat ikut terlibat.
“Penyidik juga bicara dengan saya, saya bilang saya nggak mau nantinya jangan mentang-mentang salah satu temennya si Iyan ini anak aparat, jangan sampe nanti dia main belakang sama saya. Nanti kalau temannya keluar, yang ini nggak keluar. Saya nggak mau begitu pak. Tapi mereka menjamin, nggak akan keluar gitu. Kemarin saya dapat informasi si Hendri itu nggak di panggil. Sementara di Dedi dan si Iyan itu suruh tandatangan tapi suratnya ditutup,” jelas Ida.
Selesai berkonsultasi, Oktavianus bersama rekannya pergi ke Polsek Duren Sawit. Mereka ingin memastikan anak polisi yang diduga terlibat tindak kriminal, tidak dibebaskan. “Iya bu tenang aja. Nggak dibebani biaya kok kami. Kan tadi udah bilang, nggak di charge. Gratis kan,” tegas salah satu pengacara LBH Street Lawyer.
LBH Street Lawyer ini digagas Rangga Lukita. Dinamakan Street Lawyer atau pengacara jalanan sebagai komitmen membela kaum tuna hukum khususnya rakyat kecil.LBH dibentuk Direktur Eksekutif Street Lawyer tersebut bersama 3 sahabatnya, sesama sarjana hukum dari Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat.
Rangga gundah dengan orang miskin yang berperkara di pengadilan tanpa didampingi pengacara. Alasan lainnya karena kecewa dengan praktik mafia peradilan. Tapi Rangga dan kawan-kawannya tak melulu membela kaum miskin. Agar lembaga yang dibentuknya bisa terus bertahan melayani para pencari keadilan, LBH Street Lawyer juga melayani klien berkantong tebal. Namun bayaran yang mereka tarik tidak sebesar seperti pengacara komersial pada umumnya. Semisal saat menangani klien yang terjerat kasus penipuan senilai Rp 800 jutaan di Pengadilan Jakarta Pusat, mereka hanya dibayar Rp 10 juta. Idealnya layaknya pengacara profesional bayaran yang mereka terima minimal 30 persen dari nilai perkara atau Rp 240 juta.
Salah satu klien LBH Street Lawyer itu sebut saja namanya Sulis. Ia terkesan dengan semangat para pengacara muda ini berjuang membela kasus anaknya. Sebagai wujud terima kasihnya Sulis sengaja menyiapkan makanan untuk para pengacara LBH Street Lawyer. Mereka makan bersama di depan sel tahanan pengadilan.
Sulis senang kasus penipuan yang menjerat anaknya ditangani pengacara dari LBH Street Lawyer. Dia menilai Rangga dan kawan-kawan jujur dalam bekerja dan tidak mengejar keuntungan semata. “ Saya cuma percaya sama Rangga, dia masih punya menjunjung tinggi profesi. Kan ada pengacara yang keras sama kliennya. Yah maksudnya kita percayakan aja ke beliau, kita liat aja,” jelasnya.
LBH Street Lawyer berkomitmen tak tebang pilih dalam menangani kasus dan klien, tegas Rangga Lukita. “Perkara yang kecil-kecil pun, orang tagihan lising, kartu kredit, perkara perceraian, semua kami tangani. Perkara yang menyangkut hidup orang banyak atau nggak. Perkara penggusuran kami tangani. Penggusuran di pondok indah juga kami tangani. Dari orang gedongan, sampai orang yang kecil kayak Ifdhan, kami tangani. Ada office Boy yang dituduh maling, karyawan distara yang gajinya kecil. Orang ini miskin.”
Beberapa tahun silam mereka juga pernah membela pelaku kasus pencabulan. Pengacara Street Lawyer Oktavianus Sihombing mengatakan pelaku bernama Irsan memiliki gangguan mental. Bersama Okta, Irsan menjelaskan kasus yang membelitnya.
Irsan: Kejadiannya Desember 2009, pas 2009 ke 2011 keluarga korban udah pernah ke rumah. Pas saya ke tangkap di jalan.
Okta: Tetangga-tetangganya ini nggak suka sama keluarga dia. Maka kejadiannya antara 2008-2009, itu kan jaraknya agak jauh. Nah diperkarakan lah ini. Dilaporkan ke polisi. Dari pihak korban ini sudah nggak apa-apa. Udah damai. Mungkin ada orang-orang nggak suka sama keluarganya.
Irsan: sampai kemarin juga masih ada orangnya. Keluarganya saya masih ketemu.
Menurut Direktur Eksekutif LBH Street Lawyer lembaganya juga siap membela koruptor di pengadilan. Tapi dengan syarat klien yang terjerat kasus rasuah mesti mengikuti aturan main mereka.Tidak bekerja sama dengan mafia peradilan!
Sejarah Terbentuknya
Di awal pembentukannya, Lembaga Bantuan Hukum Street Lawyer dibangun dengan kondisi keuangan pas-pasan. Direktur Eksekutif Street Lawyer Rangga Lukita mengatakan LBH yang dipimpinnya tidak mendapatkan bantuan dana dari pihak manapun. Modal awal membangun lembaga ini kenang Rangga, didapat dari kocek orang tuanya. “Kami inisiatif meminjam dari orangtua saya. Mah pinjam duit, awalnya Rp 20 juta, dengan belanja sini sana habis Rp 15 juta. Kami adakan kantor di Jalan DI Panjaitan, Jakarta menyewa Rp 10 juta,” jelasnya.
Di tahun pertama pada 2009, tidak ada kasus yang mereka tangani. Alhasil sisa modal awal sebesar Rp 5 juta habis. “ Memang nggak ada perkara, nggak ada pemasukan. Duit nggak ada. Untuk bayar listrik pun pakai duit pribadi. Bayar operasional. Pakai duit pribadi. Karena murni gitu,” katanya.
Rangga masih ingat honor pertama mulai ia dapat setahun kemudian. Jumlahnya tak capai jutaan rupiah. Hanya Rp 20.000 dari kasus kriminal yang mereka tangani. Jika mendapatkan honor yang besar, sebagian dana disisihkan. “Ya kami pakai untuk biaya operasional untuk sidang, untuk ngisi-sisi kas dan kantor,” ungkapnya.
Rangga mencatat honor terbesar yang pernah didapat saat menangani kasus perebutan hak waris. “Dari sanalah tarikan nafas kedua, dapat Rp 25 juta. Memang bertahap-tahap, dia ngasih Rp 3 juta untuk transportasi sidang saja. Kalau sudah sukses. Waktu nafas kedua itu sudah pindah ke sini. Untuk bayar kontrak Rp 11 juta setahun. Pasang AC, dan sisanya masuk uang kas dan ongkos makan kamilah,” jelasnya.
Meski begitu uang honor pemberian klien kata Rangga belum mampu mencukupi kebutuhan operasional kantor. Para staf dan pengacara LBH Street Lawyer mesti pandai mengencangkan ikat pinggang. Sampai-sampai di masa-masa sulit, mereka berpikir dua kali untuk membeli makan. “Ngarep jadi ibu ini datang, kali aja bawa sate. Jangan makan yah nanti Ibu Susi mau datang. Juanda tuh, nggak ada yang makan. Jangan keluar duit, Rp 7.000 itu sangat berarti kan,” katanya seraya tertawa.
Sebagai lembaga yang berorientasi sosial , pengacara di LBH Street Lawyer mahfum jika honor yang mereka peroleh tak menentu jumlahnya. Oleh sebabnya mereka juga bekerja di tempat lain. Ada yang membuka kantor pengacara atau bekerja di perusahaan swasta. Pengacara, Muhammad Kamil Pasha. “Kita di sini nggak terlalu di dikte lah, asal sesuai dengan ketentuan yang ada. Banyak bereksperimen yah. Bukan seperti di kantor yang banyak nggak puas. Misalkan saya kan bagian legal di kantor, saya kan akan memberikan opini mengenai ketentuan-ketentuan misalkan tentang ketenagakerjaan, semisal pegawai wanita yang hamil, walaupun masa kerjanya masih singkat, ketika dia menjalani cuti pra dan pasca melahirkan, tetap mendapatkan gaji bulanan. Kadang kantor itu merasa wah nggak bisa nih dijalankan, ini memperngaruhi kas. Kalau saya sih nggak bisa ini,” tuturnya.
Sudah banyak pengacara yang datang dan pergi di LBH Street Lawyer. Diantara alumninya memilih menjadi pengacara komersial. Bagi pengacara, Muhammad Kamil Pasha LBH Street Lawyers, sebagai tempat belajarnya untuk pengacara professional dan bersih. Banyak pelajaran yang ia petik selama membela kaum miskin dan tuna hukum. “Kalau saya sih di LBH Street Lawyer ini sebagai kawah Candradimuka. Tempat lahirnya pengacara berkualitas yah. Misalnya saya nanti jadi lawyer besar, kita tetap menjadi bagian dari Street Lawyer yah. Meski kita nggak menangani kasus secara langsung, ya minimal anak buah kami, adik kelas kami referensikan kalau mau magang di sini. Kalau kami punya kelebihan rezeki ya, kita buat LBH ini lebih bagus lagi. Kalau ditanya sampai kapan yah selamanya.
(Eby, Fik)