Bagikan:

Yuhan Subrata: Sulap Lahan Kritis jadi Hutan Organik

Saat orang berduit membangun villa di kawasan Puncak Bogor Jawa Barat, Yuhan Subrata tak ikut tergoda. Bersama keluarganya ia justru getol menanam aneka pohon di kawasan resapan air itu. Jerih payahnya selama 10 tahun mulai terasa. Kawasan Bukit Cipendawa

SAGA

Kamis, 28 Feb 2013 12:30 WIB

Yuhan Subrata: Sulap Lahan Kritis jadi Hutan Organik

hutan, hutan organik, pohon, puncak, banjir

KBR68H - Saat orang berduit membangun villa di kawasan Puncak Bogor Jawa Barat, Yuhan Subrata tak ikut tergoda. Bersama keluarganyaia justru getol menanam aneka pohon di kawasan resapan air itu. Jerih payahnya selama 10 tahun mulai terasa. Kawasan Bukit Cipendawa Megamendung yang  gersang kini mulai hijau dan rimbun. KBR68H berkunjung ke hutan organik garapan Yuhan.

Pagi yang dingin tak menghalangi Zoya dan Zia menyusuri bukit di hutan Megamendung, Bogor Jawa Barat. Dua bocah itu segera menarik tangan ayah mereka Yuhan Subrata.  Bersepatu boot karet, mereka menyusuri lahan seluas 20 hektar.  Sebagian areal rimbun dengan pepohonan khas hutan hujan tropis.  Mereka menuju tepian bukit gersang seluas 8 hektar yang akan dihijaukan kembali. Bersama kedua anaknya, Yuhan menanam pohon Rasamala ditepi bukit.
 
Saban libur, Yuhan mengajak anaknya menanam pohon. Sesekali sang nenek, Rosita ikut menemani cucu mereka.  Setelah menanam pohon, aktivitas dilanjutkan memancing ikan mujair dan bawal di kolam dekat rumah Yuhan. Kedua kegiatan di alam bebas itu ditularkan agar kedua anaknya peduli pada lingkungan.

Sejak 2001, Orangtua Yuhan Subrata, yakni; Bambang Istiawan dan Rosita kerja keras memulihkan belasan hektar lahan kritis di bukit Cipendawa Megamendung Puncak Bogor Jawa Barat. Lahan kritis dipulihkan secara bertahap dengan ditanami pohon Jati, Afrika, Damar, Puspa dan juga Rasamala, jelas Bambang Istiawan pemilik Hutan Organik di Cipendawa.

“Lahan kritis, ngerehab pastinya dibikin hutan dulu khan. Karena hutan sumbernya humus. Humus apa dia tanya ini daunnya harus daun puspa atau rasamala. Dia khan tak peduli asal baik. Yang penting kita baca asal jangan cemara dan acasia. Di sini pernah ada ambil teliti di sini untuk S2. Dia ambil judul perubahan lahan dari kritis menjadi normal menjadi subur hanya dengan proses penanaman tradisional. Itu dia bisa buktikan kalau ini benar,” tutur Bambang.

Kerja ayahnya menghijaukan lahan kritis terang Yuhan Subrata  sempat jadi bahan ejekan sejumlah kalangan.“Dulu saya tak sekolah, ibu, ibu rumah tangga, bapak cuma orang mesin. Diledekin mas. Ada orang IPB diledek, Kabupaten diledek, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Punya berapa duit lo ngimpiin kayak gitu. Gak mungkin berhasil lo. Kita pada 2004, dibantu Dokter Karlini dari Udayana. Dia Cuma datang, Hmm kita tanam pohon masih kecil-kecil. Kata dia ini pasti berhasil. Saya yakin. Jadi tiap tahun tanah kita di cek di Udayana. Satu setengah kilogram tanah kita kirim ke Bali. Ini hasilnya nih mas, ada tinjanya. Terus ada C organiknya. PHnya sudah normal. Dari 2,5 sekarang sudah 6 netral,” imbuhnya.

“PH” yang dimaksud Yuhan adalah kadar kesuburan tanah. Kini belasan hektar lahan kritis yang dihijaukan kembali pulih. Ini berkat pemupukan secara organik, juga penyiraman yang rutin.  Setelah pohon tumbuh sekitar satu meter, Yuhan mulai menanam sayur disela-sela pohon. “Ini kita bikin bedengan. Kita tanamin sayuran khan. Pupuk kandang kita cuma yang pakai. Pupuk kandang ini rencananya untuk sayuran, tapi secara otomatis pohon ini terawat karena dapat pupuk. Nah ini tumpangsari. Dari dulu sudah ada. Sekarang dikenal dengan agroforestry. Nanam palawija dengan nanam tanaman keras. Ini 2003 kita tanam jati 8000 pohon. Ini kita tanam sayur, tengah-tengahnya, Ini outputnya 2003 sayuran. Jagung secara besar-besaran tanam 2004. Nah 2008 – 2009 lebih banyak sayuran kita tambah variannya,” ungkapnya. 

Tapi waktu itu, tak semua petani yang tinggal di Cipendawa mau mencoba cara menanam tumpang sari seperti yang dilakoni keluarga Yuhan. “Contohin dulu. Bikin dulu dia melihat. Khan sebenarnya masih gampangan organik. Tak perlu banyak kegiatan dan modal. Bikin, dia melihat bagus ngikutin. Waktu itu buka empat hektar. Semua sayuran. Kalau saya taruh pohon, jadi sudah empat tahun tutup blek. Jadi anehnya petani kita pada buka masing-masing di depan rumahnya,” kata Yuhan.

Setelah pohon  tumbuh tinggi lebih dari 3 meter, saatnya Yuhan mengganti sayuran dengan menanam lada dan kopi.“Kalau masyarakat ngincar nilai ekonomi, selain menanam sayuran. Pertama kali nanam pohon, satu meter – satu setengah meter kita nanam sayuran, terus saat pohon dua meter,kita masukin tanaman lada dan kopi. Nanti saat pohon kanopinya ketemu, mereka sudah beralih penghasilannya sama kopi dan vanili. Tetap duitnya mengalir.  Karena yang saya ajarkan disini ke petani, gak bisa hidup dari sayuran ada kambing, gak bisa hidup dari kambing ada ikan, gak bisa hidup dari ikan ya ada tamu,” imbuhnya.

Sayuran, bersama tanaman keras kini tumbuh berdampingan dengan pepohonan khas hutan hujan tropis. Setelah semuanya tumbuh baik, giliran Yuhan memilah fungsi hutan dan lahan.“Dari 12 hektar, 6 hektar zona konservasi, 4 hektar ekonomi dan 2 hektar utility. Ekonomi itu, yang bisa dipanen semua pohonnya. Pohon bisa di panen dan juga buah. Kalau zona konservasi itu tak bisa diapa-apain. Jadi tak boleh melakukan kegiatan ekonomi di lahan konservasi. Hanya nanam tok udah. Dan itu pun sudah tak boleh masuk pupuk kandang lagi. Karena waktu 2003 – 2004 tanah kita waktu kita cek masih ada unsur tinja dari kotoran kandang khan. Setelah 2006 baru tuh layak konsumsi, khan kita cek ke PDAM. Karena pupuk sudah mulai kita kosongin. Jadi yang enam hektar itu sudah kita jadikan hutan saja. Wuuih sudah ada macam-macam tumbuh, ada binatang. Dan kita akan adakan mitos lokal. Setan. Nanti saya kasih kain putih saya kasih tulisan Arab. Biar balik ke zaman dulu. Dulu ada leuwung larangan. Sekarang sudah gak pada takut mereka.Dulu di mana ada pohon ada duit, sekarang di mana ada pohon, di situ ada setan.”

Mitos lokal dibangun untuk menyelamatkan sumber mata air yang muncul kembali berkat pulihnya ekosistem hutan. Semua ini tak sekedar untuk cari uang, jelas Yuhan tapi juga untuk mencontohkan bagaimana memulihkan lahan kritis. “Kita di sini cuma untuk jadi model doang. Jadi kalau mau dicontoh silakan, tidak juga gak apa-apa. Yang penting kita ini ada buktikan. Supaya tak melakukan kegagalan yang kita lakukan. Bagaimana bikin air, bagaimana dapat nilai ekonomi bersama masyarakat,” jelasnya.

Hasil kerja Yuhan sekeluarga pun mestinya bisa dicontoh pemerintah Kabupaten Bogor yang kini sibuk menertibkan bangunan vila untuk pemulihan kawasan Puncak.“Sebenarnya kalau pemda mau tinggal ikutin zonasi ini. Jadi tak ada mata air yang diganggu, gak ada bangunan rumah di mana-mana. Jadi kalau zona konservasi ya konservasi gak usah diterabas untuk buat villa.”

Sekarang setelah semuanya terbangun, Yuhan mulai gencar membagi-bagikan bibit ke masyarakat sambil membuka jasa ekowisata. Seperti apa hasilnya?

Bisnis Wisata Alam

Setelah semuan pohon tumbuh, Hutan Organik Bukit Cipendawa Megamendung pun terbangun, dengan beragam zona pemanfaatannya secara ekologis dan ekonomis. Yuhan pun membuka sarana ekowisata.“Saya khan buat edukasi forest di sini. Pengenalan lingkungan. Jadi ada yang belajar nanam pohon, terus lihat ternak dan ikan. Terus bagaimana cara bikin hutan dan bagaimana cara menghasilkannya.Nanti mereka yang mandu, ini pohon afrika, sengon dan damar. Mereka jadi fasilitator. Dulu kampung ini gak ada pohon, dan kebun weeeh.”

Sekarang setiap minggu, ada saja pengunjung yang datang untuk belajar soal kehutanan. Atau hanya sekadar  rekreasi outbound dan berkemah. Hasilnya? “Yang penting bisa nutupin operasional. Terus kita bisa buat makan sedikit-sedikit. Saya bialng cukup. Yang penting mesti pinter, kalau dari sayuran gak bagus, ikan. Ikan gak bagus kambing, Kambing yang bagus ya ada tamu. Itu saling nutup. Sayuran lagi gak bagus nih hujan khan, ada tamu datang berapa rombongan tutupin ke sayuran. Rombongan lagi sepi ikan panen. Ikan sepi kambing. Kambing kita ternak. Benar-benar hidup dari hasil ini. Alam ini,” paparnya.

Duabelas warga setempat dilibatkan bekerja di Hutan Organik. Mereka menanam pohon dan berkebun, mengurus ternak ikan dan kambing, menjadi pemandu ekowisata, sampai kerja untuk membibitkan pohon-pohon hutan. Menurut Yuhan pembibitan sangat penting agar warga sekitar bisa dan mau menghijaukan lahannya. Agar warga minat, bibit digratiskan. “Bibitnya gak dijual. Bibitnya dibagikan gratis. Kenapa? Orang bogor mau nanam bibit gak punya. Minta ke pihak terkait tak punya. Jadi beli bibit itu masih menjadi hal yang mahal bagi masyarakat kita. Kalau lihat bibit Rasamala dan Puspa, Rp 7.500 – Rp 15.000 itu mahal. Tapi kalau buat ke diskotik bisa. Itu saja masing bingung. Kita sediakan bibit, mereka bingung nanamnya di mana.”

Yuhan tak bisa melihat areal di sekitar Hutan Organik gersang. Ia bahkan sengaja menanam pohon di luar areal hutan binaanya. Tujuannya agar seluruh kawasan di Megamendung hijau dan rimbun.

YUHAN: “20 ribu – 30 ribu. Taruh di situ. Habis paling enam sampai lima bulan. Termasuk sama yang kita tanam sendiri. Jadi ilegal planting. Tanah kosong meleng cangkul tanaman. Tanah kosong cangkul bikin lubang tanamin. Suka ada yang tak setuju.
KBR68H: “Suka ada yang protes?”
YUHAN: “Nggak!ngomong secara langsung tidak, tapi ngedumel di belakang. Siapa sih nanam pohon di sepanjang jalan. Hahaha. Bukit yang longsor sudah saya tanamin semuanya.

Menanam pohon secara ilegal di lahan orang lain juga bertujuan mengenalkan cara penghijauan Agroforestry. 

KBR68H :”Menawarkan gagasan ini sudah seberapa sering?”
YUHAN: “Sudah kayak tukang obat kali. Sangat sering, sampai ke desa-desa, ke rumah-rumah. Ke lurah dan ke camat sampai ke Gubernur saya samperin.
KBR68H: “Responnya?”
YUHAN: “Jadi tamu, mereka anggap kita tamu. Yang datang responnya dari daerah Lombok, Samarinda dan Bali. Kalau Samarinda datang kemari belajar kehutanan selama empat hari mereka kasih bingkisan ke Bupati. Terimakasih atas bimbingannya. Wah siapa yang bimbing. Kalau masyarakat maunya instan. Hobinya jual jasa, jual villa dll. Karena mereka anggap pertanian tak jelas nasibnya.”

Muhammad Faudzan warga sekitar sempat berpikir seperti itu.“Di atas juga saya punya garapan. Di tanamin pohon-pohonan. Ki Damar. Singkong gak bagus pak. Tumpang sari jagung waktu itu sekarang nggak. Jagung ketimun mau coba lagi. Kalau gak salah empat ribu meter diatas.”

Kata Yuhan, Faudzan bercita-cita seperti rekannya Oman. Berkat hasil dari hutan produksi tumpangsari warga Cipendawa itu bisa pergi naik haji. “Saya juga sudah menghasilkan Haji Sengon kok. Hahah dari dulu saya bantuin bibit dan biji. Ada Haji Oman, sekarang dia lagi nanam Jabon.”

Di sekitar Megamendung Puncak, memang belum banyak petani yang tertular virus agroforestry dari Yuhan Subrata. Tapi sejumlah kelompok tani di Sentul, Parung dan Serpong mulai mengikuti jejaknya. Termasuk petani dari Kelompok Nusatani Bogor,yang disampaikan Sekretarisnya Teddy Sutisna, “Sebetulnya sebelum pencanangan, saya asli Sukabumi. Di sana kalau penanaman kayu di sampingnya ditanami Tumpangsari. Kalau kayu khan lama, jadi ditanami tumpangsari biar bisa cepat panen. Jadi kebiasaan itu coba diterapkan ke sini. Tadinya sih mau coba ajak masyarakat. Tapi Cuma beberapa yang mau ikutan. Masyarakat di sini maunya riil dulu, lihat hasilnya dulu. Kalau kita omong doang tak ada yang percaya.”

Kelompok Nusatani mengelola 4 hektar lahan garapan yang semula dipenuhi sampah sisa pembuangan seluruh warga bogor. Tapi berkat kegigihan, tumpukan sampah setebal delapan meter pun disulap jadi kebun cabai dan hutan produksi. 2500 batang pohon cabai di tanam di samping pohon Jabon, Jati, Sengon, Rambutan dan juga Duren kata Teddy Sutisna.  “Hasil kalau dari cabai kalau dari awal sudah empat, sekitar lima jutaan. Ada masih dikumpulin buat modal. Kemarin pakai duit orang kita tutupin duitnya. Sisanya baru kita kembangin lagi ke depannya. Lahan khan masih banyak, modal cicil dulu saja sedikit-sedikit,”imbuhnya.

Teddy dan Kelompok Sukatani masih ingin mengembangkan pembibitan pohon hutan produksi dan pohon endemik Jawa Barat, seperti Saninten, Rasamala dan Puspa. “Iya ada yang buat nilai ekonomi (produksi) dan ada yang niat hanya diambil karbonnya. Jadi kalau nanam tiga baris, dua baris ditebang, dan satu barisnya dibiarkan ditinggikan biar jadi hutan benar. Kalau sekarang saya yang penting bisa melihatkan ke masyarakat kalau memang dari tumpangsari bisa menghasilkan uang. Sementara pikirannya ke situ dulu, baru setelah ini saya akan melangkah ke yang lebih lagi.”

Kembali ke bukit Cipendawa Puncak Megamendung. Yuhan Subrata dan orangtuanya Bambang Istiawan tak mau ambil pusing dengan sikap sebagian warga yang ogah menghijaukan kawasan Puncak. Buah kerja kerasnya tak hanya untuk warga sekitar Megamendung, satwa pun ikut menikmati.  “Di sini banyak elang sekarang dan juga burung hantu. Semua yang dari telaga warna kini hinggap di sini.”

(Van, Fik)

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending