KBR68H - Sudah bukan jadi rahasia jika pelayanan sebagian rumah sakit di negeri ini masih jauh dari kata memuaskan. Informasi, kenyamanan dan pelayanan yang seharusnya menjadi hak pasien seringkali diabaikan. Reaksi keluarga pasien pun berbeda-beda menanggapinya. Ada yang berani menggugat, tapi ada pula yang pasrah. KBR68H bertemu dengan keluarga pasien Kurnianto Ahmad Syaiful dan Muhammad Yunus.
Pasangan suami istri Muhammad Yunus dan Oti Puspa Dewi tengah bersedih. Pasalnya anak mereka Raihan Alyusti Pariwesi mengalami kelumpuhan yang diduga akibat kelalaian dokter. Bocah lelaki 10 tahun itu terbaring di ruang perawatan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Infus terpasang di hidungnya. Sang bunda, Oti setia mendampingi Raihan, “ Kejadiannya tanggal 22 September 2012, di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Awalnya, Raihan hanya mengalami muntah-muntah. Apa yang masuk keluar. Dia mengeluh gak kuat,” tutur Oti.
Rumah sakit yang disebutnya tadi berada di Jakarta Barat. Sambil bercerita, Oti sesekali membersihkan liur yang keluar dari mulut anaknya.
“Pas di UGD didiagnosa hanya salah makan. Jadi lambungnya yang kena, masuk ke ruang perawatan untuk diagnosa lebih awal, jam 10 pagi dokter datang. Dan dia menyarankan untuk ke dokter bedah. Karena ada indikasi usus buntu jam 1 dokter bedahnya datang. Ini 99 persen usus buntu akut disarankan untuk operasi tanpa di USG. Saya langsung kaget kenapa langsung akut. Dan saya minta di USG atau ditindaklanjut dua hari diberi obat penghilang rasa sakit kan bisa dioberservasi. Nah dokter itu bilang berdasarkan pengalaman dia, dia sudah yakin dan jika tidak dioperasi akan pecah di dalam,” jelasnya.
Rumah sakit akhirnya mengoperasi Raihan. Selesai operasi, bukan kabar gembira yang Oti terima. “ Ketika saya tanya anak saya, dokter bilang berdoa saja Bu. Anak saya kenapa ? Yah berdoa saja anak ibu lagi dibangunkan. Pas saya lihat anak saya seperti tidak bernyawa. Entah ada nafas. Saya tanya Dokter Anastesi, katanya anak ibu pas operasi tidak kuat jantungnya dan itu mengalami henti jantung hingga 8 menit. Itu yang mereka jawab.”
Raihan akhirnya koma.Keluarga Oti tentu saja tak menerima kondisi kesehatan anaknya yang memburuk. Sudah tak terhitung pertanyaan yang mereka ajukan ke pihak dokter dan rumah sakit terkait kondisi bocah tersebut. Kembali Ibu pasien Raihan, Oti. “ Sampai sekarang mereka bilang alasannya Raihan, alergi obat, tapi kita gak tau obat apa. Mereka pun tidak menjelaskan obat apa yang alergi. Seharusnya mereka test obat untuk mengetahui alergia atau tidak sebelum operasi. Malah jawaban mereka sudah tes obat saat di ruang operasi.”
Akibatnya Raihan mengalami koma selama tiga bulan. Penjelasan yang meyakinkan dari pihak rumah sakit tidak pernah didapatkan Oti. Oti dan suaminya Muhammad Yunus akhirnya memutuskan untuk memindahkan perawatan Raihan. Namun menurut Oti proses pemindahan anaknya dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau ke RSPAD Gatot Subroto seperti dipersulit. Saat itu mereka harus menunggu 3 hari. Rekam medis juga tak kunjung diberikan. “Dokter di sini pun kaget, kenapa usus buntu bisa menjadi seperti ini. Dokter disini juga tidak mendapatakan rekomendasi-rekomendasi kronologis sakitnya Raihan,” jelasnya.
Pelayanan yang tidak nyaman dari rumah sakit juga dialami keluarga pasien Kurnianto Ahmad Syaiful. Saat ditemui Kurnianto tengah menjenguk makam putrinya di Taman Pemakaman Umum Pruput, Jakarta Timur. Buah hatinya yang telah berpulang bernama Ayu Tria Desiani. Bocah perempuan 9 tahun itu wafat akibat menderita penyakit kanker darah atau leukimia. Sebelum meninggal, Ayu sempat dirawat di Rumah Sakit Anak dan Ibu (RSAB) Harapan Kita, Jakarta Barat akhir Desember silam. Ia harus dirawat karena menurut dokter ada pembuluh darah yang pecah.
“Jadi kita harusnya jadwal kemotherapy Kamis, ternyata badannya ngedrop jadi dipercepat ke rumah sakit. Masuk UGD itu sekitar jam 6 sore . Ternyata masuk ICU sekitar jam 8 malam,” jelas Kurnianto. Tak disangka, saat menuju ruang unit perawatan intensif atau ICU, Kurnianto dihadapkan pada kesibukan kerja kru sinetron “Love in Paris” yang tayang di salah satu tv swasta. “Wah penuh banget, sekitar dua puluhan orang lebih lah, ada tukang lampu, dekorasi gitu, mindah-mindahin kursilah.Pasien juga saat itu banyak, kebanyakan bayi. Jadi satu ruangan mungkin dia beda ada kamar kayak VVIP gitu mungkin.”
Menurut Kurnianto, jarak tempat tidur perawatan anaknya dengan lokasi pengambilan gambar hanya dipisahkan oleh empat tempat tidur bayi. “ Pas saya masuk kan saya disuruhnya pakai baju steril ya, sedangkan kru-krunya masuk gak pake baju steril jadi main masuk-masuk saja. Dan juga terganggu aktivitas juga, jalan menuju ruang ICU. Benar-benar mengganggu,” katanya.
Ia masih ingat betul kejadian jelang kematian anaknya. Dini hari Ayu mulai koma. Detak jantungnya sempat berhenti dan tim medis langsung memompa. “Jam setengah 3 lah, pagi. Sempet berhenti tuh dari koma. Monitornya berhenti dipacu lagi sama dokternya, kuat sampe satu jam lah. Dipacu lagi sudah gak ada respon ya sudah. Dokternya langsung minta maaf sama saya.”Anak ketiga Kurnianto akhirnya meninggal. Jelang subuh bersama istrinya, ia siap pulang ke rumah duka. Lelaki 40 tahunan itu masih sempat melihat kru rumah produksi sinetron yang terlelap di ruang tunggu rumah sakit.
Kasus yang dialami keluarga Muhammad Yunus dan Kurnianto adalah sedikit yang terungkap. Ibarat puncak dari gunung es, masih banyak kasus keluarga pasien yang dirugikan akibat malpraktek dokter atau pelayanan buruk rumah sakit yang tak diketahui masyarakat. Lantas bagaimana seharusnya keluarga pasien menyikapinya?
Gugatan Hukum Pasien
Kasus kesehatan yang dialami keluarga pasien Kurnianto dan Muhammad Yunus seolah membenarkan masih ada rumah sakit yang belum memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi pasien dan keluarganya. Direktur Utama RSAB Harapan Kita, Jakarta Ahmad Subagyo telah meminta maaf atas kasus yang menimpa keluarga pasien Kurnianto. Saat kejadian di ruang perawatan sang anak, tengah berlangsung syuting sinetron.
“Kita sudah mendapat pelajaran tentang terganggunya apa, keluarga atau pasien di ICU ini. Ini kita terus terang tidak diperbolehkan lagi. Dan bahkan, yaitu yang kami katakan di rumah sakit sementara ini tidak diperbolehkan. Betul, kami tidak ada menerima ke rumah sakit,“ kata Ahmad.Sementara untuk kasus bocah Raihan, Direksi Rumah Sakit Medika Permata Hijau sempat dimintai keterangan Komisi Kesehatan DPR. Direksi membenarkan adanya operasi dan alergi obat yang dialami. Menurut Dr. Hardiman saat pemberian anastesi, terjadi reaksi pada tubuh pasien yang disebut dengan kejadian yang tidak diharapkan atau KTD.
Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah menjenguk Raihan dan keluarganya. Ketua IDI Zaenal Abidin mengatakan sanksi kepada dokter yang melanggar etika menunggu proses hukum yang tengah berjalan. “Yah kan sudah dibawa proses hukum mereka sudah lapor kepolisian dan Majelis Kehormatan Dokter. Tinggal kita lihat saja sampai dimana proses hukumnya,”jelasnya.
Lantas bisakah pasien atau keluarga yang dirugikan menggugat dokter atau rumah sakit? Undang-Undang Rumah Sakit tegas mengatur soal ini. Termasuk soal sanksi yang diberikan kepada rumah sakit jelas anggota Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), Tini Hadad. “ Mungkin pertama teguran yah liat dulu reaksinya, mungkin sanksi untuk rumah sakit kan ada di UU. Kan dilihat dulu bagaimana kesalahan rumah sakit bisa dipidana. Tapi kan itu harus melalui semacam pengadilan medis.”
Tini menegaskan dalam kasus yang dialami Keluarga Kurnianto, rumah sakit telah melanggar kode etik. Aktivitas syuting di ruang ICU tidak diperbolehkan. “ Seharusnya dari BPRS sendiri bahwa ICU untuk pasien yang dianggap gawat itu seharusnya tidak boleh sama sekali. Apalagi ada pasien. Bahkan di ruang perawatan biasa pun gak boleh. Bahkan mengganggu kenyamanan pasien. Di negara lain, bpleh memang syuting di rumah sakit tapi untuk kebutuhan pendidikan,” terangnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) setiap tahunnya mendapatkan laporan terkait pelayanan rumah sakit yang buruk. Anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan, “ Yah biasanya laporan-laporan terkait pelayanan yang buruk karena pasien merupakan warga miskin sehingga dikebelakangkan. Terus ada kasus saat operasi ada alat kdeokteran yang tertinggal di dalam tubuh pasien. Saya lupa jumlah kasusnya tapi setiap tahun pasti kita dapat laporan soal itu.”
Tulus Abadi dan Tini Hadad menambahkan pasien yang dirugikan punya hak untuk menggugat rumah sakit. “Kalau memang pasien terganggu bisa menggugat berdasarkan UU Rumah Sakit. Dalam UU itu kan ada 18 hak pasien loh. Sementara rumah sakit Cuma satu yakni melayani. Diantaranya pasien bisa menggugat rumah sakit dan dokter,” kata Tini.
Tapi tak semua keluarga pasien punya keberanian. “ Belum mikir pengaduan mikir badannya saja . Posisi (keluarga korban-red) sudah lemah. Selain itu juga dia kan soal teknis-teknis kesehatan di rumah sakit pasien tidak tahu sama sekali. Inilah yang membuat pasien tidak mengadukan kasus tersebut,” kata Kurnianto.
Pilihan pasrah menerima nasib inilah yang diambil keluarga pasien Kurnianto. “ Ya gak papa cuma capek ajah nantinya, kalau masalah ini diteruskan. Biarlah masyarakat dan teman-teman media yang menilai kasus saya ini. Sebaliknya keluarga pasien Raihan, akan menggugat Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Akibat pengobatan yang dilakukan dokter, anak mereka lumpuh. Ibu Raihan, Oti Puspa Dewi menuturkan,“Tuntutan saya sederhana saya minta anak saya sembuh. Tolong dokter jangan sembunyikan untuk membela sesama dokter. Kami orang awam jangan diperlakukan seperti ini.”
Oti juga sudah melaporkan kasus anaknya ke berbagai macam lembaga seperti Majelis Kehormatan Dokter, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sampai Kepolisian. Namun hingga kini, belum ada jawaban memuaskan.Selayaknya kasus yang dialami keluarga pasien Kurnianto dan Muhammad Yunus menjadi pelajaran berharga bagi dokter dan manajemen rumah sakit.
(Erc, Fik)