KBR68H - Sudah puluhan tahun warga Desa Gembong, Kabupaten Tangerang kesulitan air layak konsumsi. Air bersih bisa diperoleh dengan cara membeli. Tapi tak semua warga mampu merogoh kocek.
Desa Gembong di Kecamatan Balaraja terletak sekitar 8 kilometer dari pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Banten. Untuk menuju ke desa itu tidak sulit. Misalnya lewat Jalan Raya Serang yang berhimpitan dengan jalan provinsi yang menghubungkan Jakarta dan Banten.
Saat mengunjungi desa itu KBR68H ditemani Didit, pemuda desa setempat. Sejak beberapa tahun silam desa ini mengalami krisis air bersih. Anshory, salah seorang warga desa menuturkan.
KBR68H: Sejak kapan krisis air di sini?
Anshory: Udah dari dulu sih. Udah tahunan. Jadi di sini airnya agak dalam gitu
KBR68H: Berapa meter kalau mau dapat air di bawah tanah?
Anshory: Kira-kira 150 meter. Dalam sekali di sini. Terlalu dalam.
KBR68H: Kenapa bisa sulit air?
Anshory: Tahu yah, gelombangnya dalam atau apa, nggak tahu yah. Terlalu dalam di sini.Rumah Anshory letaknya persis di tepi anak Sungai Ciburian. Lelaki tua ini sudah lebih dari 50 tahun tinggal di sana. Ia mengenang saat kanak-kanak atau sekitar dekade 60-an air sungai masih bisa diminum. “Nggak kayak dulu, kalau dulu minum di sawah juga bisa, sekarang banyak racun, banyak limbah. Limbah dari apa aja, kotoran sapi gitu, dari kotoran apa aja gitu. Sebelum ada galon, pakai air hujan, pakai ember gitu. Kalau di sini kering kemarau bangsa 7 bulan, itu ke jauh kalau ngambilnya. Ada di Bojong Loak, itu aktif sumurnya. Ada dua kejaroan, ada di Kerabak gitu. Itu kita jalan sekilo, itu juga kalau ada. Kalau nggak ada bisa jalan 2 kilo,” jelasnya.
Warga yang mampu terpaksa membeli air galonan untuk kebutuhan minum. Untuk keperluan mandi, cuci, kakus sampai urusan ternak warga menyedot dari sungai dengan pompa diesel. Lantas mereka membuat lubang penampung air berdiameter 2 meter dengan kedalaman 1 meter. Air disedot dengan pompa diesel dari Sungai Ciburian.Anshory dan Didit menunjukkan beberapa lubang air atau kolam. Lokasinya tak jauh dari rumah mereka. “Jadi masyarakat itu bikin kolam-kolam empang yah. Yang nggak dipakai dibersihin, buat nampung itu, dari sebulan sampai setengah bulan. Berapa RT itu, mandinya di situ semua.”
Beli Air
Air dalam kolam itu keruh berwarna cokelat kehijauan. Bau tak sedap menusuk hidung. Sebagian air dipakai untuk mengairi sawah warga setempat.”Saya pernah mandi, terus ada kotorannya. Kalau airnya ada nih penuh nih, kencang. Kalau di sini surut yah udah deh. Kalau nggak ada air, ditanggul. Jadi irigasi itu denyut nadi kebutuhan warga.”Lain lagi cerita Tubiani. Lelaki 55 tahun ini bekerja sebagai pembuat bata dengan pendapatan 2 juta perbulan. Seperempat pendapatannya atau sekitar Rp 500 ribu habis untuk membeli air minum kemasan saban bulan. Setiap hari tiga galon air kemasan dihabiskan untuk minum 5 anggota keluarganya.
“Kalau menghidupkan itu kadang kala di kampung itu susah senangnya. Yah mungkin senangnya itu jarang yah. Sudah kebanyakan kayak gitu, kebanyakan pahit daripada senang. Kalau keadaan seperti ini yah mensyukuri saja apa adanya.” Untuk keperluan mandi, cuci dan kakus, Tubiani mengandalkan air dari sumur pompa yang dipasangnya 4 tahun silam. Karena tak seberuntung dirinya , Tubiani berbaik hati memberi tetangga yang kekurangan air cuma-cuma.
“Kita kalau jualan air mah bisa, ini kan kita lilahi taala aja. Banyak bersyukur aja ada sumur di kita. Kita kadang-kadang nangis liat orang, jam 4 pagi sudah ngantri di pinggir rumah kita. Jangankan buat minum. Buat bilas saat buang air saja susah.”
Tapi tak selamanya sumur pompanya berfungsi dengan baik.
Tubiani: Kadang-kadang kita 2 minggu rusak, kita nggak benerin karena nggak punya duit.
KBR68H: Berapa biaya untuk memperbaiki?
Tubiani: Paling mahal ada 600 ribu, karena terbakar mesinnya. Itu baru mesinnya aja, belum tenaga betulin Rp 800 ribu. Sampai lah sejuta. Yah tukar sama bata, kebetulan yang betulin mau bata. Tau sudah lah. Nanti saya tuker aja, tuker sama 4 ribu bata.
Di Desa Gembong sebenarnya ada sumur pompa air untuk kepentingan masyarakat setempat. Air dipompa lewat alat submersible atau pompa satelit. Pompa air yang mampu menyedot air di kedalaman 200 meter tersebut pemberian salah satu calon kepala daerah. Tapi kata Tubiani keberadaan pompa air itu justru jadi rebutan dan konflik warga.
“Seperti begini. Kita turun ke seseorang, yang namanya pengajuan nih. Siapa kepala pengajuan, kadang kala sumur itu kan di dekatnya dia nih. Akhirnya setelah muncul ini, dia merasa punya jasa yang paling berat. Akhirnya kan begitu. Sebetulnya kan kalau masalah kita peralatan kita bisa gotong-royong, kerusakan dan lain-lain kan itu kebutuhan kita. Tapi yang punya beban itu yang ketakutan itu. Mereka berkuasa ya itu. Ada konflik rebutan, yah jelas,” jelasnya.
Mengapa air bersih sangat sulit diperoleh warga Desa Gembong?
Pompa Satelit
Krisis air bersih di Desa Gembong sudah berlangsung puluhan tahun. Jikapun ada air yang diperoleh warga lewat pompa air biasa berasa asin dan berbau. Kepala Desa Gembong, Sarda Syarif.” Sekarang sudah nggak bisa pakai pompa lagi, pakai jet pump sudah tidak bisa. Sekarang harus pakai pompa satelit atau Submersible,” ungkapnya.
Sarda mengatakan krisis air di desanya hanya bisa ditangani dengan pemasangan pompa Submersible. Pompa ini mampu menyedot air tanah di kedalaman lebih dari 100 meter. Sedikitnya Desa Gombong butuh 16 pompa air submersible untuk memenuhi kebutuhan air 120 keluarga. Butuh dana hampir Rp 1 miliar untuk mewujudkan impian itu. Tapi kas Pemkab Tangerang tengah cekak .
Cara lain lewat berlangganan air melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tapi permohononan warga belum digubris. “Dari PDAM sendiri alasannya belum mencukupi. Sekarang kawasan yang terlintas saja itu susahnya bukan main, alasannya sudah penuh. Demit air tidak mencukupi. Sekarang masyarakat bukannya tidak ingin hidup bersih, dengan air gampang. Itu mendambakan yah. Tapi lagi-lagi alasannya pasang baru itu nggak bisa.
Juru Bicara PDAM Kabupaten Tangerang Yopie Irianto mengklaim produksi air yang ada tak mampu memenuhi kebutuhan warga Desa Gombong. Solusi yang ditawarkan akhirnya dengan membeli air minum dari perusahaan swasta, PT Aetra Air Tangerang.“Memang di kawasan terpencil di Kabupaten Tangerang termasuk Desa Gembong itu sendiri, untuk wilayah capaiannya itu wilayah Tigaraksa. Itu kan kita sekarang 100 liter perdetik. Tapi ternyata kebutuhan daerah tersebut melebihi. Nah sekarang kita akan kerjasama dengan Aetra, karena memang debitnya itu. Kalau di sana itu ada 10 ribu pelanggan, nah sekarang di sana sudah 15 ribu. Nah itu yang kita akan kerjasama dengan Aetra,” jelasnya.
Penyebab Krisis
Ironisnya PDAM Kabupaten Tangerang mampu memenuhi kebutuhan air konsumen di Jakarta. Jumlahnya separuh dari total produksi air yang ada.
Yopie: Kita itu 5.400 liter perdetik, itu 2.800 liter perdetik kita suplai ke Jakarta.
KBR68H: Itu sudah kewajiban?
Yopie: Bukan kewajiban, tapi memang sudah disiapkan untuk DKI awalnya. Karena kan DKI kan mungkin mengakses dari mana-mana itu agak jauh.
KBR68H: Kalau saya mikir gampang bagaimana kalau di Jakarta itu dikurangi debitnya, lalu ditambahkan untuk Tangerang, itu sulit?
Yopie: Kita akan ada kontrak, artinya gini kita kan saling menghargai namanya ada kontrak san segala macam. Kan nggak begitu saja.
Bagaimana tanggapan Pemkab Tangerang? Pejabat yang bertanggungjawab Kepala Pengolaan Sumber Daya Air dan Air Bersih, Abdul Qodir mengaku baru tahu Desa Gombong mengalami krisis air bersih hingga puluhan tahun.
Abdul Qodir: Selama ini belum ada penelitian arah ke sana, apakah lempengan air bersih itu belum ini... belum diketahui. Secara ilmiah belum diketahui.
KBR68H: Iya tuh pak di Desa Gembong.
Abdul Qodir: Wah terimakasih nih informasinya, insya allah kita akan merapat ke sana. Karena selama ini kita baru sampai Kronjo doang.
Pakar Hidrologi dari Institut Pertanian Bogor, Nana Mulyana mengatakan wilayah Tangerang merupakan kawasan krisis air. Yang terparah ada di Kecamatan Balaraja, termasuk Desa Gembong. Menurut analisa Nana, air tidak bisa tertampung, lantaran sebagian besar daerah cekungan di sana, terisi batuan kapur.
Nana: Itu tuh daerah di situ mengandung pasir, jadi air hujan lolos ke bawah. Yang kedua daerah situ daerah batu kapur, daerah kas dekat dari pantai.
KBR68H: Mangkuk itu tadi?
Nana: Ada tapi, terus ke dalam. Air itu ada, pasti tersimpan. Cuma memang air itu langsung masuk ke bawah
Keadaan air tanah di sebuah daerah bisa dilihat dari peta Hidrologi. Peta itu menjelaskan air tanah berasal dari cekungan atau mangkuk raksasa di kedalaman puluhan sampai ratusan meter di bawah tanah. Cekungan ini terbentuk sejak jutaan tahun lalu.
Nana melanjutkan air bawah tanah di Desa Gembong itu harus diambil menggunakan pompa satelit. Jika teknologinya terlalu mahal, maka warga bisa memanfaatkan irigasi air sungai yang telah disaring.
Warga Desa Gembong seperti Tubaini akhirnya cuma bisa berharap, mimpi mendapatkan air bersih bisa segera terwujud.
(Eby, Fik)