KBR68H - Jakarta pekan lalu lumpuh diterjang banjir. Ribuan orang terpaksa mengungsi. Sejumlah organisasi dan individu datang menolong korban tanpa pamrih. Berikut secuil cerita relawan, disela-sela kesibukan mereka di lokasi banjir.
Lelaki 40 tahunan itu tengah sibuk mengatur pengungsi di Posko Kesehatan bilangan Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Pengungsi korban banjir ini berasal dari Kampung Pulo, wilayah yang kerap dilanda banjir. Jelang banjir, Edi Pati Nama, warga setempat yang terpanggil mengevakuasi warga. Lewat pengeras suara di mushola lingkungan tempat tinggalnya, ia menyerukan warga segera bergegas keluar rumah.
“Hari Selasa jam 9.00 WIB. Air masuk jam 08.00 WIB setinggi 30 cm. Begitu jam 09.00 WIB jam 10.00 WIB, Katulampa tinggi 180 dan depok 200 lebih airnya. Khusus warga RW 2 RW 3 Kampung Pulo, Kampung Melayu dikerahkan untuk mengungsi. Karena pak lurah telah mengontek RW dan RT nya,” terang Edi.
Katulampa yang disebutnya tadi maksudnya lokasi bendungan atau stasiun pintu air di Bogor, Jawa Barat. Edi bercerita saat petugas Katulampa dan petugas pintu air di Depok mengumumkan status ketinggian air siaga 1, ia langsung bergerak cepat. Itu artinya, serbuan air dari Bogor akan tiba di Jakarta sekitar sepuluh jam kemudian. Setelah berkoordinasi dengan Lurah Kampung Melayu, Edi ditugasi bantu evakuasi warga dan menyiapkan lokasi pengungsian.
“Saya selalu kontek Katulampa dan Depok. Gini-gini masih aman saya bilang. Begitu udah urgen saya ke RW-RW bilang. Biasanya air masuk pagi jam 02.00 WIB, jam 01.00 WIB saya udah stand by. Kita punya kepala lurah yang punya wilayah. Santa Maria oke . Saya yang piket langsung koordinasi dengan Santa Maria. Langsung saya buka,” jelasnya.
Santa Maria yang disebutnya tadi adalah sebuah gereja yang berada di Kawasan Kampung Melayu. Rumah ibadah itu biasa dijadikan tempat lokasi pengungsian. Tapi tak semua warga di Kampung Pulo mau mengungsi. Alasannya macam-macam. Padahal evakuasi, saat air sudah tinggi sangat riskan. Membahayakan keselamatan warga maupun relawan. Kembali relawan banjir Edi Pati.
“Banjir disini itu mungkin udah terbiasa entah lima tahun sekali, setahun sekali, tiga tahun sekali. Karena yang paling parah adalah RW 1,2 dan 3. Kadang ada warga yang ga mau mengungsi karena alasan jauh tempat pengungsiannya. Terus kita jemput dengan menggunakan mobil Satpol PP,” cerita Edi.
Kesulitan memindahkan warga korban banjir juga diceritakan relawan lain, Sunjaya. Rumah warga Manggarai, Jakarta Selatan ini ikut tenggelam terendam banjir hingga dua meter. Tapi di tengah bencana, masih ada warga yang menolak mengungsi.
“Waktu evakuasi yang dibelakang dia ga mau dipindahin. Katanya mau pindah ditentanganya. Pas banjir kita bingung mau evakuasi dan saya nyuruh orang yang bisa berenang. Itu ada kadang susah. Dia maunya posisi disini. Dia gak mau sampe detik harinya itu harus evakuasi. Keluarganya susah dan kita minta bantuan RW akhirnya mau. Kita udah berusaha untuk membujuk supaya pindah. Karena kalau banjir besar malah lebih sulit,” terang Sunjaya.
Peralatan Terbatas
Dengan peralatan seadanya seperti tali tambang dan ban bekas, Sunjaya dan relawan lain mencari warga yang masih terjebak banjir.
“Terutama ibu-ibu, anak-anak,dan manula. Karena mereka juga ada yang gak bisa jalan. Kita kekurangan sarana. Kita sudah meminta tandu. Sampai saat ini belum realisasi. Karena bawa orang tua kan susah. Gang sempit. Kalau pake tandu kan gampang. Kalau gotong untuk dua orang tiga orang kan ga muat gangnya. Karena terlalu kecil,” imbuhnya
Sunjaya mengaku keterlibatannya semata-mata atas dasar kemanusiaan. “Saya haruslah. Ada kesadaran kadang ada yang masa bodo. Selama ini berjalan dengan baik tanpa hambatan walau ada apapun. Ada solidaritas itu harus ada kalau engga ada, kita akan susah kalau engga ada kerja sama. “
Relawan yang tak kalah sigap tak hanya berada di lokasi banjir. Ada juga yang sibuk di dapur umum. Meracik bumbu masakan dan menyiapkan makanan untuk pengungsi. Iis Usmiati satu diantara juru masak yang ikut terlibat. Ini alasan warga Matraman, Jakarta Timur itu ikhlas membantu. “Alasan tergerak panggilan hati merasakan turut prihatin merasakan penderitaan mereka. Kebahagiaan buat kita. Sukanya kita sambil masak sambil happy. Seribu bungkus. Kita terbatas udah banyak bangsa bisa lebih tiga puluh liter.Kita masak dengan hati nurani,” katanya.
Agar penyaluran makanan merata dan tepat sasaran, Iis dibantu aparat keamanan. Kadang makanan yang disiapkan tak mencukupi memenuhi kebutuhan seluruh pengungsi. Maklum saja jumlah pengungsi terus membludak. “Alhamdulilah dengan adanya ini semua mereka mengerti keterbatasan kita. Kalau habis yah . bu maaf kita pengennya banyak tetapi adanya segini.”
Nursandi, relawan lain yang tak kalah sibuk. Ia bertugas memastikan ketersediaan air bersih di Posko Dinas Kesehatan Jakarta Timur. “Kita kekurangan air bersih untuk air isi ulang, air panas, air apa. Selama dua hari ini mereka terpenuhi. Satu hari hampir 30 liter. Untuk air minum.”
Ia mengaku baru kali ini terlibat sebagai relawan korban bencana banjir. Keterbatasan pengalaman tak surutkan semangatnya membantu sesama yang tengah tertimpa musibah.
Apakah semangat saja cukup jadi modal untuk menjadi relawan?
Kiprah Relawan GRN
Puluhan warga mendatangi kantor Global Rescue Network di kawasan Gudang Peluru Jakarta Timur. Saat itu kantor perusahaan penyedia jasa evakuasi bencana ini juga ikut kebanjiran. Namun hal itu tak menghalangi 60 -an orang mendaftarkan diri sebagai relawan banjir.
Setelah didata dan dinilai kemampuannya membantu korban, para relawan itu langsung diterjunkan ke medan banjir pada pertengahan Januari silam. Ketua Global Rescue Network atau GRN, Fredi Sutrisno menuturkan, “Kemarin sudah melihat debit air. Kemudian sudah diperkirakan kita melakukan persiapan. Jadi tanggal 15 datang kita bekerja. Teman teman biasa membantu berdatangan lagi. Lalu kita menangani Kebon Baru, Jati Asih, Pluit, Teluk Gog dan lainnya. “
Salah satu kerja relawan GRN, ungkap Fredy saat berhasil menolong seorang ibu dan anaknya yang masih kecil di Kebon Baru, Jakarta Timur. Korban berada di lantai dua rumahnya. Banjir sudah menenggelamkan separuh rumahnya. “Kita dihubungi dan jam 1 malam. Kita tanggal 15 keluarin orang satu ibu -bu dan anak kecil airnya tinggal satu cm dari lantai dua dan arusnya deras,” jelasnya.
Tak sembarangan GRN memilih relawan. Semangat saja belum cukup. Kata Fredi perlu keterampilan khusus untuk menolong korban. “Ya sudah lewat kita coba evakuasi. Meskipun dengan cara yang tidak membayakan diri sendiri. Tidak boleh sembarangan. Karena tidak boleh membahayakan diri sendiri ketika menyelamatkan orang,” bebernya.
Agar relawan aman bekerja, idealnya mereka dilengkapi perlengkapan evakuasi berstandar internasional. “Pertama kita sendiri harus siap memasuki air. Kita engga bisa memakai kaki telanjang. Harus memakai sepatu, harus pakai helm, jaket. Kemudian waktu kita bekerja harus memperhatikan keselamatan. Misal ketika bahaya perahu terbalik, jangan dilakukan. Tunggu aja dulu karena orangnya masih diatas dakam keadaan aman belum tergantung atau terseret,” imbuhnya.
Kiprah GRN terjun di lokasi bencana kata Fredi mulai dirintis sejak 2003 silam. Relawan GRN misalnya terjun saat gempa dan tsunami menerjang Aceh pada Desember 2004. Saat banjir melanda Jakarta pada 2007 silam GRN menerjunkan 300 personelnya.
Syarat Relawan
Seleksi kepada relawan juga dilakukan Posko Pengendalian Kesehatan pengungsi di Jakarta Timur. Pengendali Posko Sugeng Priwanto memberi contoh untuk membantu mengecek kesehatan pengungsi hanya dokter yang diperkenankan. “Kalau untuk kesehatan tentunya minimal orang kesehatan. Apakah profesi dokter, perawat dan lainnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan relawan yang diluar itu. Misal untuk pendataan dan siapa pun yang datang kita akan terima. Untuk membantu pengungsi dalam hal ini banjir.”
Jika tidak memiliki kemampuan medis atau spesialis lain, relawan misalnya disalurkan membantu distribusi obat, dapur umum sampai pendataan pengungsi. Setiap orang punya kesempatan menjadi relawan bencana. Namun tegas anggota Global Rescue Network Deni
Anugerah perlu kejujuran untuk menilai kemampuan diri.
“Kita engga bisa tolak yang namanya relawan. Hanya kita minta relawan harus sadar diri. Jangan menutupi diri. Saya anggota pecinta alam dari sini. Saya udah lulus kursus arung jeramnya. Jangan menipu gitu. Karena dilapangan tim rescue udah punya kemampuan lebih untuk mendayung perahu. Karena pada saat dia kecebur resiko itu ada. Karena perumahan bentuknya lain sama sungai. Itu ada arus timbul yang bahaya dalam ruangan sempit,” ungkap Deni.
Imbauan Deni patut didengar. Selain semangat membantu sesama, kemampuan relawan di lokasi bencana juga mesti diperhitungkan.
(Pit, Fik)