KBR68H - Jika Anda melewati
Jalan Tamblong, Bandung nampak sebuah bangunan rumah toko di pinggir
jalan. Sebagian orang kerap kecele, kalau gedung berwarna merah
menyolok itu bukan masjid. Maklum di bangunan itu tertulis Toko Lautze.
Rumah ibadah itu dikenal sebagai salah satu pusat informasi Islam yang
toleran di Kota Kembang. KBR68H berkunjung ke masjid yang getol
mengkampanyekan Islam yang damai: membawa kemaslahatan umat tersebut.
Hampir
tiap pekan, Suyanto menyempatkan diri berkunjung ke Masjid Lautze Dua
di kawasan Jalan Tamblong Bandung. Diberi nomor dua karena Masjid Lautze
Satu berada di kawasan Pecinan Jakarta,yang berdiri pada 1991.
Suyanto
keturunan etnis Tionghoa siang itu ikut hadir di Masjid Lautze yang
tengah menggelar diskusi Islam. Dalam acara yang berlangsung hampir dua
jam itu dibahas berbagai isu yang tengah hangat. Mulai dari Islam dan
terorisme sampai toleransi antar umat beragama.“Saya tidak melihat dari
satu pandangan bahwa Islam adalah teroris.Saya akan lebih
bersungguh-sungguh lagi karena saya masih banyak kekurangan, meskipun
sudah menjadi muslim tapi masih banyak yang belum bisa dilakukan,”
katanya.
Suyanto seorang mualaf. Dua tahun ini ia tekun mempelajari
Islam. Ia mengaku tengah belajar menjadi muslim yang toleran.
“Sebenarnya dari agama muslim banyak sekali yang harus digali,
pembelajaran tidak hanya sekarang saja tapi sampai tau masih banyak yang
harus digali. Tiap muslim pandangannya berbeda tinggal cara
sosialisasinya di perbanyak,” jelasnya.
Introspeksi diri menjadi
kunci agar bisa menerima perbedaan suku, etnis dan agama, katanya. “Jadi
saya melihatnya mamsih sebatas untuk diri saya sendiri, tapi untuk
organisasi di luar saya tidak memandang, dan yang terpenting diri saya
yang harus diubah. Untuk kalangan di luar kurang tahu, karena tiap agama
mengajarkan kebaikan karena itu lihatlah diri masing-masing.”
Jeslyn khawatir citra Islam terpuruk bila umatnya
menutup diri. Apalagi masih ada perilaku kaum muslim di Jawa Barat yang
tidak toleran dengan agama lain. Berdasarkan survey LSM Setara
Institute tahun lalu, provinsi itu menduduki peringkat tertinggi kasus
intoleransi. Mulai dari kasus penyegelan rumah ibadah sampai tekanan
terhadap penganut Ahmadiyah.
“Citra Islam tidak sebaik zaman Rasul,
akibat oknum atau orang yang tidak mengerti Islam tapi mereka sebagai
orang Islam. Maka di Islam disarankan untuk menuntut ilmu tapi mereka
tetap tidak mau belajar. Perlu diakui citra Islam belum baik, seperti
kotor. Padahal diajaran agamanya sholat sehari lima kali dan harus
berwudhu, ini yang menjadi citra buruk Islam karena orang-orang yang
belum tahu,” terang Jeslyn.
Siar Islam yang damai juga disampaikan
lewat dakwah. Langkah ini untuk menangkal paham dan pengaruh Islam yang
radikal dan tak toleran. “Menyampaikan pesannya lewat dakwah, di sini
ada uztad yang menyampaikannya ke luar dan menjelaskan soal Islam
sebenarnya. Kalau perlu apapun tentang Islam, informasi atau pun isu-isu
yang yang terkait tentang Islam, silahkan datang ke Masjid Lautze dan
silahkan bertanya sampai Anda puas. Kita memang ada pembinaan muallaf
dan memfasilitasi bagi orang yang ingin menanyakan tentang Islam,”
imbuhnya.
Dakwah Damai
Masjid
Lautze telah melahirkan banyak penceramah muda yang materi dakwahnya
mengedepankan Islam dan perdamaian. Satu diantaranya Hutom Cahya.
“Apapun orangnya dan lembaga apapun yang meminta ceramah untuk
menjelaskan soal Islam, sekarang sudah banyak jadwal ke luar dan
menjelaskan bahwa Islam tidak seperti yang dijelaskan berbagai media
massa (identik dengan kekerasan –red),” katanya.
Maksud pengurus
masjid membidangi pendidikan dan dakwah tersebut tak semua muslim setuju
dengan aksi terorisme atas nama agama. “Kita lebih pendekatan’ face to
face’, karena kalau melibatkan ke media persepsi akan menimbulkan
pro-kontra, tapi kalau ingin belajar soal Islam silahkan datang ke
Lautze,” jelasnya.
Penceramah lainnya, Muhammad Sultanuddin turut
berbagi pengalaman. “Banyak yang menanyakan apakah Islam identik dengan
kekerasan mengebom, ketika dikupas ternyata tidak ada dan tidak
seekstrem itu. Islam tidak pernah memaksa karena zaman nabi lewat
prilaku yang nampak dan damai. Tidak usah propaganda dan melihat
kelakuan Islam saling hormat menghormati dan menyayangi sehingga ada
ukhuwah,” paparnya.
Citra Islam di tanah air kata dia mulai
terpuruk pasca kasus terorisme di Bali pada 2000 lalu. “Banyak
pertanyaan di hadapan mereka yang terkait dengan orang Islam, kenapa
seperti itu? Bahwa itu bukan ajaran Islam namun sebuah prilaku pribadi.
Apalagi terkait dengan bom bali beberapa waktu lalu banyak yang
bertanya baik yang non Islam ataupun mereka yang sudah masuk Islam.
Apakah Islam dalam konteks jihad yang identik dengan peperangan, itu
misi pribadi yang numpang di gerbong agama seakan itu Islam padahal
memiliki muatan prbadi,”katanya.
Pengurus masjid Hutom Cahya berharap
di masa datang mereka dapat melahirkan santri yang toleran. “Kita
memang punya mimpi besar punya madrasah di wiayah Tamblong, dengan murid
pertama 30 anak dan ini cikal bakal madrasah Lautze. Seperti kita
membuat bangunan maka harus kokoh, nanti di lingkungan, masyarakat dan
rumahnya bisa menerima,”jelasnya.
Lewat dakwah yang menanamkan
nilai-nilai toleransi, tak salah bila ada yang menilai Masjid Lautze
berhasil memberi contoh Islam yang damai. Menghargai keberagaman.
Sejarah Lautze
Masjid
Lautze dua Bandung didirikan oleh keluarga Karim Oei Tjeng Hian sekitar
16 tahun silam. Ia dikenal sebagai sahabat presiden pertama Indonesia
Soekarno, Wapres Muhammad Hatta, dan tokoh Muhammadiyah Buya Hamka.
Kedekatan
dengan para pendiri bangsa itu dapat disimak dari foto hitam putih
yang dicetak pada 1938 dan dipajang di dinding masjid. Di sana tertulis
“Orang yang Benar-Benar Muslim Harus Cinta Tanah Air dan Pribumi.”
Pesan itu ditulis Karim pada 1973. Tujuannya, menyatukan masyarakat
Indonesia yang berlainan suku, agama, dan etnis.
Di Indonesia,
komunitas keturunan Tionghoa muslim dipayungi Yayasan Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini punya cabang di 16 kota besar
di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan
Pontianak. Jumlah muslim Cina saat ini sekitar 80 ribuan orang.
Juru
bicara Masjid Lautze Dua Bandung Jeslyn menjelaskan,” Tujuan Karim Oei
itu untuk memfasilitasi karena kita tahu ada jurang pemisah antara
etnnis Tionghoa dan etnis pribumi. Meskipun orang Tionghoa lahir di
Indonesia mereka tetap WNI. Orang etnis Tionghoa sungkan sedikit risih
untuk menanyakan Islam kepada warga pribumi. Karena itu didirikan
yayasan Karim Oei dengan visi dan misi sebagai pusat informasi Islam
warga Tionghoa.”
Alasan yang disampaikan Jeslyn itu yang
mendorong Muhammad Sultan tertarik menekuni Islam. Ia mulai bergabung
dalam aktivitas spiritual di masjid tersebut sejak 10 tahun silam.
“Karena saya melihat di sini orang Muallaf sering bertanya tentang Islam
dan ini suatu tantangan buat saya dan mengetahui sudut pandang orang
lain soal Islam. Jadi memang banyak tanggapan dan pandangan, karena saya
sendiri belajar Islam sejak kecil. Pandangannya hanya satu arah, dan
ketika datang ke sini kita mendengarkan pandangan mereka soal Islam dan
kita semakin terbuka,” ungkapnya
Bangunan fisik Masjid Lautze mirip
kelenteng. Gedung didominasi dengan balutan cat merah, kuning, dan
putih. Di atap-atap langit bangunan dihiasi enam lampu lampion. Ruangan
untuk menampung jamaah memang tergolong sempit untuk ukuran masjid.
Hanya mampu memuat 30-an orang.
Pintu Dialog
Pintu
masjid yang kerap tertutup rapat dan fisik bangunan yang menyerupai
rumah toko kerap membuat orang ragu untuk masuk . Seperti yang dialami
Afghan dan Berang.“Tadi mau masuk ragu-ragu ke sini karena baru pertama
masuk ke mari, soalnya baru lihat juga dan kebetulan lagi ada kerjaan
dan waktunya dzuhur ke sini,” jelas Afghan.
Berang menimpali,”Tadi
memang rada ragu-ragu untuk masuk, memang karena belum tahu dan saya
sempat nyari, saya kira toko tadinya.”
Sejatinya pintu tertutup
rapat bukan untuk melarang orang beribadah. Maklum rumah ibadah ini
berada di pinggir jalan. Agar jemaat bisa khusyuk beribadah dan tak
terganggu hingar-bingar laju kendaraan, maka pintu masjid sengaja
ditutup terang Jeslyn
“Untuk saat ini masyarakat masih sungkan dan
segan untuk masuk Masjid Lautze, ini yang saya ingin sampaikan sejak
lama bahwa Masjid Lautze terbuka untuk umum dan bukan hanya masjid china
tapi terbuka untuk umum. kenapa ditutup, karena masjid ini berada di
tengah jalan dan bisa mengganggu ke khususyukan makanya kita
tutup,”katanya.
Ia mengundang umat non muslim tak sungkan berkunjung
atau datang bersilaturahmi. “Datang saja ke sini, karena dari negobrol
kita bisa berteman. Satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa Islam tidak
boleh memaksakan seseorang untuk masuk ke agamanya, itu sudah jelas
dalam Al-Quran. Jadi jangan takut untuk masuk ke masjid akan di suruh
masuk Islam, kalau datang silahkan saja dan berteman atau
bertanya,”ajaknya.