Apa jadinya jika kebebasan pers yang selama ini diperjuangkan, kembali dirampas pemerintah? Kekhawatiran itu bisa nyata, jika Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional disahkan DPR. Dalam beleid itu dimuat sejumlah pasal kontroversial yang dapat menghambat dan mengancam pekerjaan jurnalis.
“Jadi itu peristiwa bulan Juni tahun 2003 sewaktu Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darat Militer oleh Presiden Megawati. Sewaktu-waktu saya memutuskan untuk ke wilayah itu. Kelaziman dalam meliput daerah darat militer pada waktu itu adalah kita melapor pada penguasa setempat. Penguasa di sini militer dan TNI, tapi saya juga memberitahu kepada beberapa Panglima GAM bahwa saya masuk ke wilayahnya melakukan liputan.”
Alif Imam kembali mengenang peristiwa peliputan yang hampir menewaskan dirinya. Kala itu ia sedang menjalankan tugas sebagai jurnalis di tengah konflik TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia pergi ke Aceh Selatan untuk mencari tahu kebenaran dari buku yang diperoleh dari Agus Harimurti Yudhoyono. Putera sulung Presiden SBY tersebut saat itu menjabat Staf Penerangan Korem Teuku Umar di Aceh.
“Nah Agus Harimurti itu kemudian menyodorkan sebuah buku yang berjudul Tragedi Manggamat yang kemudian saya baca sekilas, lalu mas Agus minta masukan ke saya. Itu isi bukunya tentang upaya bagaimana warga setempat melawan GAM, dan TNI tidak turut membantu pada waktu itu. Yang ingin ditonjolkan dari buku itu bahwa masih banyak elemen masyarakat yang pro kepada NKRI dan tidak suka pada GAM. Karena itu saya mau memutuskan untuk pergi ke Manggamat yaitu di Tapak Tuan, Aceh Selatan,“ lanjut Alif.
Sesampainya di Tapak Tuan, Alif yang saat itu bekerja di Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta, melihat ada sesuatu yang ganjil. Kondisi di Tapak Tuan seperti tak sesuai dengan isi buku. “Memang disitu sesuatu yang seratus persen setup. Ada diorama, ada spanduk yang ditulis atau dilukis, kemudian ada kisah-kisah bagaimana warga setempat dipenjara dalam kurungan ayam oleh GAM, kekejaman GAM dan bagaimana warga melawan. Itulah gambaran dari diorama itu,” jelasnya.
Usai mendapat keterangan dari warga dan TNI, Alif yang kini bekerja di Tempo TV itu, berupaya mencari penjelasan dari petinggi GAM setempat, Abrar Muda. Belum lagi bersua, sejumlah anggota TNI menghadangnya.
“Kami masuk ke hutan, enggak lama di sana cuma sampai dua jam dan kami enggak berhasil berjumpa Abrar. Begitu ke luar itulah tiba-tiba sudah ada truk pasukan gabungan kopasus dan marinir. Ditanya kamu siapa, lalu saya jawab saya wartawan, tapi malah langsung dipukul. Peristiwa itu begitu cepat mungkin empat menitan dipukulin, saya sampai jatuh dan harus istigfhar. Padahal kami sudah memberitahu mereka bahwa kami wartawan sudah memperoleh izin, tapi mereka malah bilang mau tembak gue,” ceritanya.
Lain lagi pengalaman wartawan senior Majalah Tempo, Wahyu Muryadi.“Kalau saya pribadi, dulu ketika jadi reporter, meliput suatu bentrok antar fakultas di perguruan tinggi di Jakarta. Waktu itu ramai, dan saya potret lalu saya telusuri, mencari tahu siapa biangkeroknya kenapa bisa sampai terjadi. Nah ketika asyik potret, tiba-tiba ada aparat militer yang datang dan kebetulan berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi tadi. Kemudian saya dipaksa untuk dimintai kamera saya kemudian dikeluarin filmnya, waktu itu masih tahun 90-an jadi masih pake negative film,” kenangnya.
Cerita dari Alif dan Wahyu tadi hanya sepenggal kisah dari sekian banyak kabar pilu jurnalis yang mengalami kekerasan dari aparat keamanan. Kasus terakhir yang terungkap di media adalah pemukulan terhadap jurnalis di Ambon, Rahman Patty oleh anggota TNI pada awal Januari lalu.
Pasal Bermasalah
Di tengah kasus kekerasan yang dialami jurnalis tersebut, pemerintah dan DPR berencana membahas Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional atau Kamnas.
Sejumlah organisasi masyarakat –termasuk pers—menolak keberadaan beleid itu. Pasalnya dalam RUU itu memuat pasal yang dapat mengancam profesi wartawan seperti dituturkan anggota Dewan Pers, Agus Soedibyo.
“Yang harus dikritisi definisi ancaman nasional. Jadi, definisi ancaman nasional disitu adalah segala bentuk aktivitas yang dapat mengancam keamanan nasional dari sisi sosial, budaya, ekonomi, ideology. Nah, apa konsekuensinya buat wartawan. Jangan-jangan kemudian karena media sering mengkritik pemerintah dalam berbagai isu, itu kemudian diinterpretasikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional,” tuturnya.
Namun kekhawatiran Agus itu ditepis Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan Hartind Asrin. “Kalau kita lihat di rancangan ini itu ada empat yang dimaksud pertama ancaman insani, kedua ancaman publik, ketiga ancaman internal, keempat ancaman eksternal. Jadi inilah namanya ancaman keamanan nasional, empat pilar ini. Kalau orang enggak ngerti bilangnya kenapa tentara mengurus ini dan itu, mereka sudah baca belum tentara itu diatur Undang-undang 34 tentang TNI, polisi diatur undang-undang 22 tahun 2002 tentang Polri. Sedangkan undang-undang kamnas ini hanya bersifat undang-undang sistem dan mensinergikan undang-undang yang ada tadi. Jadi tidak mengatur,” tegasnya.
RUU Kamnas juga tidak akan tumpang-tindih dengan Undang-Undang Pers, imbuh Hartind. “Jadi dalam azas-azas RUU Kamnas ini salah satunya kita juga mengambil dari Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan undang-undang pers. Jadi, kita hormati itu, wartawan bebas meliput apa saja. Tapi coba baca undang-undang nomor 14 itu soal keterbukaan informasi publik ada pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan, contohnya informasi tentang intelejen, kemudian tentang posisi pasukan, tentang kekuatan angkatan bersenjata kita, tentang operasi yang sedang dilaksanakan, maka itu tidak boleh. Memang kebebasan per situ harus terbuka semua? Bisa-bisa musuh tahu semua kalau Indonesia sedang latihan ini dan itu karena kebebasan per situ,” imbuhnya.
Namun, LSM Hak Azasi Manusia Imparsial punya penilaian lain. RUU Kamnas justru mencampuradukan kewenangan aparat keamanan TNI dengan Polri. Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti. “Di pasal-pasal itu mencampuradukan tugas-tugas pertahanan, menjaga keamanan negara dari serangan asing, seharusnya itu, tapi malah justru melakukan tugas-tugas low inforcement. Katakan misalnya, tentara minta dilibatkan melakukan penangkapan, penahanan, introgasi, nah itu kan sangat berbahaya. Tentara itu kan kalau melihat orang yang dianggap musuh mainsetnya langsung tembat. Nah, kalau itu diturunkan untuk mengatasi demonstrasi buruh, bisa-bisa buruh ditembak, mahasiswa ditembak, wartawan yang meliput juga ditembak,” ungkapnya.
Salah satu pasal bermasalah itu 14 ayat 1. Isinya tentang status darurat militer yang dapat diberlakukan bila ada tindakan anarkis atau kerusuhan sosial. Sementara di pasal 22 diatur kewenangan Badan Intelejen Negara (BIN) untuk mengatur keamanan nasional. Di tengah kekhawatiran RUU Kamnas jadi ancaman kebebasan pers, lantas bagaimana sikap DPR? Adakah niat merevisi atau menolak RUU itu?Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kamnas di parlemen masih alot.
Tim Panitia Khusus RUU tersebut telah meminta pemerintah memperbaiki pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Anggota Tim Pansus RUU Kamnas, Tantowi Yahya. “Sesuai dengan kesepakatan dimasa sidang ini baru kita akan duduk bersama lagi untuk membahas usulan dari pemerintah dengan draft yang baru. Dimana, dari draft yang baru itu ada pengurangan pasal dari 60 menjadi 55 pasal. Kemudian ada pembetulan dari beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Jadi kita belum akan mengundang pemerintah lagi,” ucapnya.
Beberapa pasal yang mengancam kebebasan demokrasi adalah pasal 28. Pasal itu mengatur kewenangan penyadapan tanpa izin pengadilan. Bahkan lembaga tertentu berhak menyadap siapa saja yang berpotensi mengganggu keamanan nasional. Fraksi PDI Perjuangan sudah tegas menolak, RUU itu dibahas di DPR seperti diungkapkan Tjahjo Kumolo. “Saya kira banyak hal yang perlu diluruskan, maka sebaiknya kami akan melobby DPR untuk ditunda sajalah pembahasannya. Saya kira ini belum mendesak, lebih baik mempertimbangkan aspek-aspek lain,” katanya.
Penolakan terhadap RUU Kamnas juga disuarakan Direktur Eksekutif LSM Imparsial Poengky Indarti. “Kita minta sebetulnya kepada parlemen untuk tidak membahas rancangan undang-undang ini. Kita minta supaya dibatalin saja, karena urgensi pembuatannya itu tidak perlu sekarang,” tegasnya.
Ancam Pers
Dewan Pers juga mencium aroma tak sedap dalam RUU itu. Kebebasan pers dan demokrasi yang diperjuangkan kalangan masyarakat sipil dikhawatirkan akan terenggut jika beleid itu jadi disahkan DPR. Anggota Dewan Pers Agus Soedibyo. “Para pemimpin redaksi itu harus bergerak. Khusus untuk pers, kita dari Dewan Pers menghimbau para pemimpin media, asosiasi segeralah berkumpul dan membahas bagaimana sikap komunitas pers terhadap undang-undang ini,” pintanya.
Forum Pemimpin Redaksi yang diketuai Wahyu Muryadi tak tinggal diam. “Dengan adanya ramai-ramai ini kami menganggap ada persoalan serius dari pembahasan menyangkut RUU Kamnas ini. Draft ini benar-benar berbahaya dan mengancam kebebasan pers sehingga kami nanti akan membikin pernyataan bersama entah itu dalam bentuk petisi atau konfrensi pers, pokoknya kami akan menentang keras dan menuntut agar RUU ini dilakukan koreksi supaya tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers,” jelasnya.
Tanpa diberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional, kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan tentara masih terjadi. Seperti yang dialami Alif Imam.
“Saya percaya tentara Indonesia sudah jauh berubah. Nah, Inilah yang harus digaris bawahi, kalau peristiwa yang saya alami terjadi kembali, sebelum RUU Kamnas ada, kita tahu sudah banyak wartawan yang kurang lebih sebelas bulan ini mengalami kekerasan. Ada yang dipukulin, dicekek, bahkan ada yang mati. Sebagian pelakunya diketahui adalah TNI. Jaminan terhadap pers walaupun undang-undangnya sudah ada tapi belum berjalan dengan baik. Kalau saya lebih mengedepankan bahwa RUU Kamnas ini tidak memberi peluang terhadap militer untuk mencampuri kegiatan sipil lebih banyak,” katanya.
Jika disahkan, RUU itu akan jadi tragedi bagi kebebasan pers di Indonesia tegas Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Muryadi. “Kalau tetap diberlakukan maka selain membuka celah bagi langkah-langkah untuk kemudian membungkam kebebasan pers maka ini akan menjadi tragedi bagi kebebasan pers kalau ini didiamkan saja,” tegasnya.
RUU Kamnas Ancam Kebebasan Pers

SAGA
Rabu, 16 Jan 2013 10:06 WIB


ruu kamnas, pers
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai