Usianya tak muda lagi, 75 tahun. Tetapi lelaki ini konsisten bekerja memproduksi alat musik tradisional gong. Meski pendengaran sudah terganggu, tak menghalangi kemampuannya melaraskan nada-nada. KBR68H bertandang ke pabrik gong di Bogor yang dikelola turun-temurun selama 2 abad itu.
Delapan orang tengah sibuk bekerja menempa besi. Lokasi pabrik gong ini persisnya berada di bilangan Pancasan, Bogor, Jawa Barat. KBR68H berbincang dengan salah satu pegawai Andi Basri namanya.
“ Ini tahap pertama ini, tadinya berukuran 30 cm, ditempa terus sampai melebar. Ini dikerjakan dari jam 8,” terangnya.
Andi yang mengaku sudah bekerja selama 15 tahun di pabrik itu, menjelaskan proses pembuatan gong.
Ia bertugas sebagai pemanas tembaga. Dengan dua alat capit seperti tang berukuran 1 meter rekannya, Andi membolak-balikkan lempengan perunggu seberat 5 kilogram di atas bara api.
Setelah dipanaskan, lempengan perunggu ditempa secara berurutan dengan palu seberat 6 kilogram.
“KBR68H: Ini pemukulnya ada berapa orang pak ? ada 4 orang, namanya ini, Dayat, Adi, Garda, dan Yasin. Jumlah pekerja pemukulnya ada 6 orang. Ini kalau pemukulnya berkurang satu, gak bakal bisa jalan. Memang kenapa ? bakal lama jadinya,”
Proses menempa gong memakan waktu sekitar dua hari, terang Yasin salah satu pekerja.
Setelah ditempa, ukuran perunggu akan melebar. Selanjutnya para pekerja membuat lekukan gong.
“Mungkin jadinya besok, jadi dua hari. Itu dipukul tengahnya buat apa ? Itu untuk nyari kaki, dari gong itu. Lekukan gong lah atau kaki,” terang Dayat.
Pabrik gong ini milik Sukarna. Pabrik yang dikelola secara turun-menurun oleh keluarga Sukarna ini kerap disambangi wisatawan.
Warisan Keluarga
“Pabrik ini sudah berapa lama pak ? sudah sekira 200 tahun. Jadi pak Karna ini generasi ke 6. Jadi yang pertama Bapak Nasimin, Pak Budin, Pak Pengarang, Bapak Zakim, Pak Juki orang tua bapak dan sekarang saya sendiri,” jelas Sukarna.
Dalam proses pembuatan gong, lelaki sepuh ini tak sungkan turun langsung.
Di depan bara api, tangan kokoh Sukarna masih kuat membolak-balikkan lempengan perunggu seberat 5 kilogram.
“Masih (kuat) lah gak kenapa-kenapa. Yah gitulah namanya kerjaan gimana. Tadi panasnya terasa, apalagi kalau gong lebih besar. Mungkin kalau orang baru kesini terasa panas,” terangnya.
Setelah gong mulai terbentuk, Sukarna melanjutkan proses penyetelan suara.
Penyelarasan nada gong biasanya disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
“Sudah cocok datang ke sini setuju. Ini pesenan dari Medan untuk Gamelan Medan (Batak),” tambahnya.
Meski pendengarannya mulai berkurang, lelaki 75 tahun ini masih piawai menyelarasankan nada-nada alat music tradisional itu. Palu ditangannya dipukul secara merata dipermukaan lempengan perunggu.
“Ini sudah dapat pak suaranya ? belum. Kurang tinggi, maunya besar suaranya, tapi dia maunya tinggi suaranya. Jadinya tidak cocok dengan suara gamelan batak. Maunya dia tinggi. Disebut satu bilah namanya.”
Selesai menyelaraskan nada-nada gong, pegawainya Sueb siap memoles dan mengamplas atau menghaluskan bagian gong yang masih kasar dengan sebuah mesin.
“Pak ini sedang apa ? ini sedang mengamplas, biar halus pak ? iyah . ini ukuran gongnya berapa ? sekira 50 cm. ini tahap akhir pak ? iyah ? biasanya membutuhkan waktu berapa lama ? 5 jam lama sih de, ngamplasnya.”
Agar hasil pengamplasan maksimal, Sueb memakai cairan pengkilap dan air.
Pemasaran Gong
Setelah rampung diamplas, gong pun siap dipasarkan. Gong yang diproduksi Sukarna dipasarkan ke seluruh daerah di tanah air.
Paling jauh dimana pak ? ke Ambon, Satu set atau Gongnya saja ? satu set Gong dan Bonang-Bonangnya saja.”
Bonang yang dimaksud Sukarna adalah gong berukuran kecil. Gong berukuran kecil diameternya mencapai 30 cm. Sementara gong ukuran paling besar berdiameter 70 cm. Harga gong mulai dari ratusan ribu rupiah sampai jutaan rupiah tergantung dari bahan baku yang digunakan. Tapi Sukarna mengaku penjualan gong belakangan ini menurun.
“ Biasanya perbulan berapa pelanggan pak ? jarang sih, hanya ngomong-ngomong saja pesen. Seperti kemarin dari Medan, dateng kesini memesan Gong. Kabarnya mau dateng lagi 1 minggu untuk memberikan DP tapi sampai sekarang gak dateng. Gak menentu sekarang, mengingat orang asing jarang kesini.
Pembeli gong produksi Sukarna tak hanya pembeli dari dalam negeri. Wisatawan asing juga tertarik membeli. Saat bertandang ke Indonesia Presiden Ceko, Vaclav Klaus juga pernah mampir ke pabriknya ujarnya bangga.
“ Bengkel Gong ini, dikagumi oleh orang-orang asing dari seluruh dunia, bahkan profesor-profesor dari luar negeri. Perbulan biasanya berapa ? kalau perbulan itu pak Karna bisa sampai 200 orang. Kalau dulu bisa sampai 400 orang lah. Apalagi sebelum reformasi banyak banget sampai kita kerepotan. Ada yang beli gak pak ? ada biasanya bahkan ukuran paling besar itu 50 cm.”
Apa yang disampaikan Sukarna dibenarkan Martina salah satu wisatawan asing dari Jerman.
“Yah ini sangat menarik, didalam pabrik ini pekerjaannya sangat tradisional berat dan membutuhkan konsentrasi. Dengan datang kesini saya bisa melihat dan mendapatkan pengalaman untuk mengetahui proses pembuatan alat musik tradisional Gong.”
“Saya sangat menyukai alat ini, saya mungkin bisa merekomendasikannnya ke teman-teman saya disana. Alat ini merupakan alat yang sangat yang berguna sekali karena bernadakan pentatonic. Saya akan membelinya mungkin jika saya kembali kesini dan digunakan di Jerman,” jelas Martina.
Selain gong, Sukarna juga menjual alat musik tradisional lainnya.
“Ya ada, hanya kita memerlukan pembuatan gamelan, jadi ada macem-macem gamelan. Kira-kira kita menjual satu setnya lengkap sekira Rp 40 juta. Kalau dari besi bahan bakunya, Rp 6 juta juga bisa. Tapi kalau perunggu sekira Rp 40 juta,” katanya.
Selain produksi gong dan perangkatnya, Sukarna juga menerima pesanan untuk memperbaiki dan menyetel alat musik tradisional tersebut.
“ Dari Medan punya gong berusia 140 tahun. Dia punya barang. Pecah 2 dan yang mulus 2, dibawa kesini dan dikerjakan Pak Karna selama 3 hari. Jadinya sudah bagus dan dipakai lagi. *mencontohkan suara gongnya. Enak buat lagu gamelan batak.”
Sukarna mengaku ia mulai dikenalkan belajar membuat gong sejak usianya masih belia, 7 tahun. Dia adalah generasi ke 6 pewaris pabrik gong. Seiring usianya yang makin menua, Sukarna telah menyiapkan sang anak, Krisna sebagai generasi penerus usaha ini. Sambil menunjukkan foto keluarganya, Sukarna menjelaskan calon penerusnya.
Ini, yang nerusin pabrik. Tapi rupanya ada kendala pada matanya. Soalnya dia pakai kacamata. Yang bisa ? semuanya juga bisa tapi belum mateng. Kalau untuk suara mah .”
Namun satu pekerja yang tidak mau disebutkan namanya, meragukan kemampuan anak-anak Sukarna mampu mengelola pabrik gong tersebut.
“Anak-anaknya gak ada yang turun, gak bisa. Ada padahal anaknya, cuman gak mau terjun. Yah kalau uangnya mah iyah. Kalau terjun langsung gak mau. Kalau misalnya mau terjun yah harus tau donk, kalau gak ada yang terjun bisa dimainin nih pabriknya. “
Sayang Sukarna belum mengizinkan KBR68H menemui sang generasi penerus, Alasannya sang anak yang berusia 30 tahunan itu tengah sakit
Di usia senjanya, Sukarna berharap di masa datang produksi gong dari pabriknya terus berlanjut.
“Kalau kata orang tua kita turuti saja, kalau dibilang pak Karna bisa dibilang gurunya. Dulu ada di Jawa Barat ada pabrik gong salah satunya di Karawang. Namun pemiliknya sudah pada meninggal dan anak-anak nya gak ada yang bisa nerusin. Dulu orang tua tiada henti-hentinya untuk memproduksi gong. Jadi di Bogor terkenal dengan pabriknya.”
Harapan lainnya masih ada generasi muda yang tertarik melestarikan alat musik khas Indonesia itu. Sebagai salah satu produk budaya tradisional.
Pelestari Gong dari Kota Hujan
Usianya tak muda lagi, 75 tahun. Tetapi lelaki ini konsisten bekerja memproduksi alat musik tradisional gong. Meski pendengaran sudah terganggu, tak menghalangi kemampuannya melaraskan nada-nada. KBR68H bertandang ke pabrik gong di Bogor yang dikelola tu

SAGA
Rabu, 02 Jan 2013 15:21 WIB

gong, bogor, kota hujan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai