KBR, Jakarta - Penyandang disabilitas punya potensi untuk berdaya, tetapi minim kesempatan. Hambatannya beragam, misalnya, pemenuhan hak-hak yang belum optimal, kuatnya stigma, dan diskriminasi.
Meski begitu, inisiatif bermunculan dari akar rumput untuk memberi akses keadilan bagi penyandang disabilitas.
Lidwina Wurie adalah salah satu yang menyadari potensi disabilitas. Pada 2017, ia mendirikan Difabel Zone pada 2017 di Bantul, Yogyakarta.
“Di luar sana masih banyak sekali orang-orang yang menganggap mereka (disabilitas) ini tidak berdaya, lemah, tidak produktif, terkadang merepotkan saja. Padahal ketika kami mengenal lebih dekat, mereka memiliki satu semangat yang justru luar biasa dan tidak pernah padam,” ujar Lidwina.
Difabel Zone menjadi wadah kreativitas bagi disabilitas dengan membatik. Hasilnya kemudian dijual. Bahkan pasarnya sudah sampai ke Australia dan Eropa.
“Di tempat kami kebanyakan adalah penyandang disabilitas cerebral palsy yang gangguan motorik gerak dan mereka mobilitasnya terbatas. Tapi di tengah keterbatasan mereka, saya masih melihat ada kemampuan untuk menggerakkan tangan. Saya pikir kalau membatik itu risikonya sangat minim dan tidak terlalu banyak memerlukan mobilitas itu,” jelasnya.
Para difabel tersebut memperoleh penghasilan dari membatik.
“Teman-teman, alhamdulillah, minimal tidak merepotkan keluarganya untuk paling tidak beli pulsa atau membeli kebutuhan sehari-hari. Bahkan satu atau dua (difabel) itu bisa membelikan kompor untuk ibunya di rumah yang masih memasak dengan kayu bakar,” imbuh Lidwina.
Di Jombang, Jawa Timur, ada Komunitas Ramah Tuli (KORATUL) yang diinisiasi Khotimah dan 35 teman Tuli pada 2022. Mereka juga dibantu sejumlah pengusaha.
Khotimah yang berlatar belakang aktivis sosial, tergerak membentuk KORATUL setelah mengikuti acara donasi korban banjir di Jombang pada 2019. Di sanalah ia bertemu dengan teman tuli.
“Saya diperkenalkan dengan teman-teman tuli serta teman teman-teman yang bisa bahasa isyarat. Nah dari sana saya mulai merasa terasing ketika berada di tengah-tengah teman-teman tuli,” cerita Khotimah.
Khotimah termotivasi belajar bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan teman tuli. Program belajar bahasa isyarat ini pun bisa ditemui di KORATUL.
KORATUL juga fokus mengadovkasi kebijakan publik. di Jombang, teman tuli sulit mengakses layanan karena minimnya Juru Bahasa Isyarat (JBI).
“Banyak sekali teman kita (tuli) yang lulus SMA, mencari pekerjaan. Yang pertama kali mereka lakukan adalah mencari identitas diri, harus membuat KTP. Ketika mengurusi itu, dari tingkat kelurahan tidak ada JBI, tidak ada yang mengerti bahasa mereka,” jelas Khotimah.
Berkat advokasi KORATUL, secara bertahap layanan publik di Kabupaten Jombang mulai ramah disabilitas. Salah satunya di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang.
“Kami diundang Bapenda untuk membuat vlog pelayanan disabilitas terutama untuk teman-teman tuli. Bapenda sudah menyediakan JBI, mungkin nanti bisa dicontoh oleh UPD yang lain di Jombang,” harap Khotimah.