Masa kanak-kanak seharusnya masa yang menyenangkan. Namun, kadang tanpa sepengetahuan orangtua, interaksi anak dengan orang lain tidak berjalan baik, diwarnai pertengkaran hingga perundungan. Data Sistem Informasi Online (SIMFONI) yang dikumpulkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menunjukkan di tahun 2021 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah mencapai 600 kasus dengan jumlah korban sebanyak 700-an anak.
Psikolog Klinis dan Play Therapist, Amanda Margia Wiranata mengatakan penyebab anak bisa terlibat dalam perundungan berasal dari diri mereka sendiri. Penilaian mereka akan perbedaan seperti fisik, ras, hingga akademis dari teman sebayanya bisa berujung pada perundungan.
"Sebenarnya anak yang sebagai pelaku, pada dasarnya dia insecure. Dia merasa inkompeten, dia merasa rendah diri. Dia takut tidak dihargai dan diakui oleh teman sebayanya," ucap Amanda saat talkshow di Ruang Publik pada Kamis (13/7).
Didiek Santosa, Perencana Ahli Madya pada Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebut sudah ada upaya perlindungan dari perundungan anak yang dilakukan pemerintah. Dia menyebut salah satunya adalah Sekolah Ramah Anak. Apa yang dimaksud dengan Sekolah Ramah Anak? Apa yang bisa kita lakukan ketika anak terlibat perundungan, baik sebagai anak pelaku maupun anak korban?
Simak penjelasan lengkap Didiek Santosa dan Amanda Margia Wiranata di podcast Ruang Publik episode Lindungi Anak dari Perundungan. Anda bisa dengarkan di KBRPRIME.ID dan platform mendengarkan podcast lainnya.
Baca juga: Sekolah Didorong Bentuk Satgas Anti Perundungan
Editor: Vitri Angreni