KBR, Jakarta – Walaupun sektor pertanian Indonesia menghadapi terus susutnya luas lahan pertanian maupun jumlah petaninya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) berupaya kuat untuk mencapai kemandirian pangan nasional dengan dukungan regulasi, tata kelola yang baik serta teknologi.
“Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan merupakan fondasi dari terwujudnya Ketahanan Pangan. Outcome dari Ketahanan Pangan adalah masyarakat dan perseorangan yang sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan” ujar Budi Waryanto, Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas.
Berbicara pada sebuah diskusi bertajuk “Kemandirian Pangan vs Ketahanan Pangan” yang diadakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada 5 Desember 2023.
Budi mengatakan bahwa pengalaman menunjukkan suatu tujuan tidak langsung dapat dicapai, melainkan harus melalui berbagai tahapan.
Berdasarkan Undang Undang No 18 tahun 2012 tentang pangan, kemandirian pangan merupakan kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.
Sementara ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik, jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau.
Terpenuhinya pangan itu juga harus tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk hidup sehat aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Azizah Fauzi sebagai Peneliti CIPS yang juga berbicara dalam diskusi tersebut menekankan karakteristik ketahanan pangan adalah tidak mengharamkan impor, karena mengutamakan tersedianya pangan.
Sementara itu, Budi dalam menjelaskan definisi Ketahanan Pangannya, sama sekali tidak menyinggung soal apakah status ketahanan pangan boleh diperoleh dengan mengikut sertakan impor.
Demikian Azizah, perdagangan internasional penting untuk pangan terjangkau dan Indonesia sehat. Kebijakan perdagangan yang restriktif, dapat membuat harga pangan menjadi mahal. Mahalnya pangan jelas dapat berdampak pada pemenuhan gizi masyarakat Indonesia.
Azizah juga menyebutkan bahwa bahwa kebijakan swasembada selama ini juga tidak berdampak pada harga pangan yang terjangkau.
Ia memaparkan bahwa data menunjukkan bahwa ketika Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 2019 sampai 2021, harga grosir beras di dalam negeri sekitar 77 persen sampai 89.74 persen lebih tinggi dari harga grosir internasional.
Budi juga mengakui bahwa swasembada yang terkait erat dengan kemandirian pangan tidak selalu berkorelasi dengan harga.
Namun Budi menekankan bahwa dengan bertahap dan dengan bantuan teknologi, mencapai kemandirian pangan tidak mustahil. Ia mencontohkan di Korea saja, orang sudah mampu melakukan penanaman baru di musim dingin berkat teknologi.
Azizah juga menambahkan bahwa CIPS mendorong modernisasi pertanian Indonesia dengan peningkatan adopsi teknologi pertanian serta mendorong regulasi yang terbuka terhadap investasi pertanian.
Baca juga: Pentingnya Regenerasi Tenaga Kerja Pertanian: Refleksi Hasil Sensus Pertanian 2023 - kbr.id