KBR, Jakarta - Salah satu tema utama dari konferensi iklim PBB tahun lalu di Dubai adalah pengakuan atas pentingnya dana loss and damage (kerugian dan kerusakan). Dana ini akan memberikan dukungan finansial kepada negara dan komunitas yang telah mengalami dampak merusak akibat perubahan iklim.
Dana loss and damage menandai titik balik penting dalam aksi iklim global. Jika sebelumnya fokus utama adalah pada upaya mitigasi mengurangi emisi gas rumah kaca dana ini akan memprioritaskan strategi adaptasi. Adaptasi tersebut bertujuan membantu komunitas membangun ketahanan dan menghadapi dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Negara-negara di Asia Tenggara saat ini menghadapi dampak nyata dari perubahan iklim, seperti banjir ekstrem dan gelombang panas. Banyak negara telah mengambil langkah adaptasi, termasuk pengembangan infrastruktur, sistem peringatan dini, pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya air, serta adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas. Tujuan utama dari langkah-langkah ini adalah membangun ketahanan, melindungi komunitas rentan, dan menjaga perekonomian lokal.
The Lancet Countdown on Health and Climate Change 2024 menunjukkan bahwa dunia belum berada di jalur yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tingkat yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celsius. Hal ini menegaskan perlunya investasi lebih besar dalam proses adaptasi berbasis bukti di semua lapisan masyarakat, termasuk kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Sistem kesehatan juga menjadi perhatian kritis. Selain terdampak oleh bencana iklim, sistem ini sangat bergantung pada rantai pasok, layanan transportasi, dan tenaga kerja yang mampu memenuhi permintaan. Perempuan hamil, ibu baru, bayi, dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Kehilangan akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak akibat dampak perubahan iklim meningkatkan risiko bagi kelompok ini.
Perempuan di Asia Tenggara secara tidak proporsional terdampak oleh perubahan iklim. Peran sosial dan identitas perempuan, seperti usia, status sosial ekonomi, status pernikahan, lokasi tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan), serta etnis dan agama, mempengaruhi kerentanan mereka terhadap perubahan iklim. Di sektor pertanian, yang sangat bergantung pada tenaga kerja perempuan, peran mereka harus diakui dalam strategi adaptasi.
Rencana adaptasi nasional terbaru menunjukkan fokus yang meningkat pada adaptasi iklim yang responsif gender. Hampir semua negara berkembang dengan rencana adaptasi nasional telah mengintegrasikan pertimbangan gender, dan hampir 30 persen secara eksplisit membahas responsivitas gender—peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2018.
Beberapa negara telah menunjukkan kemajuan. Fiji mengakui peran perempuan dan anak perempuan sebagai agen perubahan dalam sistem pangan dan perikanan. Di Vietnam, perempuan dilatih dalam pertanian berkelanjutan dan keamanan energi, terutama di wilayah pedesaan yang rentan terhadap cuaca ekstrem.
Namun, tantangan masih ada. Banyak rencana adaptasi hanya mengakui isu gender tanpa memiliki rencana konkret untuk mengatasi masalah kesehatan perempuan, seperti kesehatan reproduksi, dukungan kesehatan mental, dan pengendalian penyakit menular di tengah tekanan iklim.
Di Indonesia, pekerja kesehatan masyarakat di Jawa Barat menunjukkan kecenderungan tinggi untuk mengorganisir diri dan menggunakan pengetahuan lokal guna memastikan keselamatan ibu hamil dan anak-anak. Sementara itu, di Malaysia, penelitian terkait adaptasi iklim dan peran perempuan masih terbatas.
Namun, inisiatif baru sedang berjalan. Didanai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Monash Malaysia memimpin penelitian untuk memberdayakan perempuan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang iklim dan kesehatan. Tim peneliti akan mengadakan lokakarya di Malaysia dan Indonesia untuk memahami prioritas penelitian dari perspektif perempuan.
Mengintegrasikan perspektif gender dalam adaptasi perubahan iklim adalah bagian penting dari upaya membangun masa depan yang tahan iklim. Meskipun tantangan terasa berat, terutama di wilayah pedesaan dengan pola hidup tradisional, pemberdayaan perempuan melalui upaya yang terarah merupakan kunci untuk menciptakan ketahanan iklim yang berkelanjutan.
Sumber: 360info.org
Penulis: Raksha Pandya-Wood, Gabriela Fernando, Azliyana Azhari, Zerina Lokmic-Tomkins
Baca juga: Bali Menuju Pariwisata Berkelanjutan: Mengatasi Sampah Plastik untuk Masa Depan yang Lebih Hijau