KBR, Jakarta - Ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat menjadi perhatian utama dalam Forum Ekonomi Dunia 2025, sebagaimana ditekankan dalam laporan Oxfam bertajuk "Takers Not Makers". Laporan ini mencatat lonjakan kekayaan miliarder sebesar $2 triliun pada tahun 2024, sementara jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan global hampir tidak berubah sejak tahun 1990. Fakta ini menyoroti bahwa 60% kekayaan miliarder berasal dari warisan, monopoli, atau hubungan kolusi—bukan dari kerja keras sendiri.
Ketimpangan semacam ini menjadi hambatan besar dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan). Dalam hal ini, Oxfam Indonesia bersama Yayasan Penabulu mengadakan diskusi publik bertema "Memusatkan Perhatian pada Ketimpangan untuk Mencapai SDGs".
Solusi untuk Mengatasi Ketimpangan
Menurut Maria Lauranti, Direktur Oxfam di Indonesia, ketimpangan ekstrem cenderung lebih banyak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Untuk mengatasinya, diperlukan solidaritas global dan langkah konkret seperti reformasi pajak progresif. Media Askar dari CELIOS menekankan perlunya pajak kekayaan untuk meningkatkan penerimaan negara secara adil dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Selain itu, prioritas terhadap program pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak harus diperkuat. Hal ini menjadi krusial mengingat kelompok rentan, seperti anak muda dan perempuan, merasakan dampak ketimpangan paling besar.
Ketimpangan Gender dan Kerja Perawatan
Perempuan kerap mengalami beban kerja yang tidak setara, terutama dalam hal kerja perawatan seperti mengasuh anak dan merawat lansia. Rena Herdiyanti dari Kalyanamitra menyatakan bahwa masyarakat masih menganggap kerja perawatan sebagai pekerjaan reproduktif yang tidak diakui secara ekonomi. Dalam konteks ini, Peta Jalan Care Economy 2025-2045 Indonesia menjadi instrumen penting yang harus dikawal demi tercapainya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Partisipasi Politik untuk Menguatkan Kebijakan Publik
Rahardhika Utama dari IFAR Atma Jaya menekankan pentingnya partisipasi politik masyarakat dalam menciptakan kebijakan yang berpihak pada masyarakat luas. Partisipasi ini, menurutnya, adalah kunci untuk memengaruhi proses pembuatan kebijakan terkait penerimaan negara dan belanja sosial.
Dengan memperkuat solidaritas global, mereformasi sistem perpajakan, dan mendorong partisipasi politik yang sehat, diharapkan ketimpangan ekonomi dapat ditekan sehingga tujuan SDGs dapat tercapai secara menyeluruh.
Baca juga: Bappenas Minta Pemuda Bantu Capai Target SDGs dengan Kurangi Sampah Makanan
Catatan: Penyusunan artikel ini dibantu dengan aplikasi kecerdasan buatan (AI)