Bagikan:

Perempuan Perajut Damai di Tanah Poso

Yulika mengenakan jilbab panjang, begitu juga ibunya. Dulu, jangankan duduk bersama, bertegur sapa ketika bertemu di jalan pun, para perempuan ini ketakutan.

BERITA | NUSANTARA

Rabu, 09 Des 2015 11:24 WIB

Author

Luviana

Perempuan  Perajut Damai di Tanah Poso

Para aktivis Persatuan Sekolah Perdamaian Poso (PSPP)/ Foto: Luviana

KBR, Poso - Pagi itu, akhir Oktober 2015, di Kabupaten Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, sejumlah perempuan duduk rapi beralaskan tikar.

Di sana, mereka menggelar pertemuan anggota Sekolah Perempuan Perdamaian. Ya, mereka adalah para ibu yang selama ini mengelola sekolah perdamaian di Poso.

Roswuri, seorang pendeta. Ia duduk bersebelahan bersama Siti dan anaknya, Yulika. Yulika mengenakan jilbab panjang, begitu juga ibunya. Dulu, jangankan duduk bersama, bertegur sapa ketika bertemu di jalan pun, para perempuan ini ketakutan.

Konflik yang terjadi di Poso pada 1998, membuat hubungan mereka penuh ketakutan dan renggang. Konflik itu juga membuat mereka harus mengungsi dan berpindah tempat. Hidup yang dulu damai berdampingan, terkoyak.

“Ada kekuatiran di antara kami. Bertemu di jalan kami takut. Serba takut,” ujar Roswuri.

Karena itulah, Sekolah Perempuan Perdamaian Poso kemudian menjadi jembatan bagi perempuan di sana untuk menjalin persahabatan di antara mereka.

Hari ini merupakan pertemuan Sekolah Perempuan di Tentena dan sejumlah kabupaten lain di Poso. Sekolah perempuan ini merupakan sekolah pertama untuk perempuan di Poso yang memfasilitasi perdamaian.

Dengan difasilitasi organisasi AMAN (The Asian Muslim Action and Network), sekolah perempuan ini kemudian berkembang di beberapa tempat di Poso dan di Tentena, salah satu kabupaten di Poso.

Sekolah Perempuan ini berdiri di 2007, sembilan tahun setelah konflik terjadi di Poso. Roswari bercerita, dulu ia ingin sekali bertegur sapa dengan para perempuan muslim, tapi rasanya sulit sekali.

Sejak konflik terjadi, ada banyak kekhawatiran yang terjadi. Para perempuan kelompok Kristen mengaku takut diracun ketika makan makanan yang dibuat oleh perempuan Islam, begitu juga sebaliknya.

“Padahal dulu hubungan kami selalu baik, anak-anak saling bermain ke rumah kami, mereka bersekolah bersama-sama, pulang sama-sama. Namun setelah konflik, justru kami jadi saling menjauh satu sama lain,” begitu Roswari.



Abon Ikan dan Kue Pedas Poso

Berbekal sebagai anggota Sekolah Perempuan Perdamaian, Roswari kemudian mengajak para pendeta lain di tempatnya bekerja di sekolah perempuan perdamaian. Di sanalah mereka bertemu dengan banyak perempuan muslim.

“Sekolah ini jadi mempererat kami. Perlahan-lahan kami berbicara dari hati ke hati. Ternyata kami mengalami ketakutan yang tak jauh beda.”

Awalnya, yang menyatukan para ibu adalah persoalan perekonomian yang mereka alami. Banyak perempuan ibu rumah tangga yang ingin mendapat penghasilan untuk ekonomi rumah tangganya sekaligus kerinduan untuk saling berbagi. Maka sekolah ini digunakan sebagai media untuk mengatasi persoalan ekonomi dan berkomunikasi kembali dengan warga di sana.

Ibu Siti contohnya. Di sekolah ini, ia belajar membuat masakan dan kue-kue. Kini, ia punya banyak pelanggan. Kue yang dijajakannya mendapat banyak pesanan. Kue-kue ini juga dipesan sekolah-sekolah di Poso. Bahkan anaknya, Yulika dibiayai kuliahnya dari hasil keringat berjualan kue.

Di sekolah perempuan, para ibu juga membuat abon Cakalang yang dikemas dan dimasukkan ke warung-warung. Selain itu ada juga makanan lain yang dijual seperti stick manis dan stick pedas. Lambat laun, hal ini tak hanya mengatasi persoalan ekonomi, namun juga mengatasi persoalan hubungan di antara mereka.

“Dari memasak bersama dan selalu bertemu inilah kami tak hanya berbicara persoalan ekonomi, tapi kami kemudian juga menjadi akrab dan banyak curhat soal persoalan yang para perempuan alami.”



Persatuan Sekolah Perdamaian Poso (PSPP)


Berbekal pertemuan dua minggu sekali, sekolah perdamaian ini kemudian mengajak banyak perempuan lain untuk bergabung. Mereka mengadakan pelatihan kepemimpinan, latihan menulis, training gender, training membuka usaha dan pelatihan lingkungan. Selama ini para ibu yang telah dilatih menjadi fasilitator untuk kemudian mempraktikkannya dengan mengajar ibu-ibu yang lain.

Saat ini sekolah perdamaian kian membesar dan berdiri di lima tempat di Poso dan Tentena. Roswari, mengajak banyak pendeta lain untuk bergabung. Demikian juga Siti dan perempuan dari komunitas muslim. Saat ini mereka sedang menggagas sebuah pementasan teater perdamaian dan majalah dinding perdamaian.

“Makin banyak saja kegiatan kami sekarang, pada hari Natal nanti kami akan pentas teater bersama-sama,” kata Justina, salah salah seorang ibu penggagas pementasan teater.

Ini artinya mereka akan berlatih dan berpentas bersama.

Sembilan belas tahun lalu, konflik memang pecah di Poso. Ketika itu tak hanya pembunuhan yang terjadi, namun konflik atau perang saudara. Padahal masyarakat di sana ingin tetap hidup bersama, mereka membutuhkan jaminan perdamaian.

Hanifah dari AMAN menyatakan, sekolah ini digunakan untuk mempromosikan perdamaian kepada semua lapisan masyarakat. Untuk alasan itulah, sekolah perdamaian ini didirikan.




Editor: Quinawaty Pasaribu 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending