Bagikan:

Pengamat: Capai Swasembada Beras, Pembangunan Harus Berorientasi ke Petani

Presiden Joko Widodo berencana membangun 49 waduk untuk menargetkan Indonesia bisa swasembada beras dalam tiga tahun mendatang. Namun di mata pengamat pertanian, hal itu tidak cukup.

NUSANTARA

Jumat, 19 Des 2014 10:08 WIB

Author

Anto Sidharta

Pengamat: Capai Swasembada Beras, Pembangunan Harus Berorientasi ke Petani

Swasembada Beras, Berorientasi ke Petani

KBR -  Presiden Joko Widodo berencana membangun 49 waduk untuk menargetkan Indonesia bisa swasembada beras dalam tiga tahun mendatang. Namun di mata pengamat pertanian, hal itu tidak cukup. Pemerintah harus memastikan ketersediaan lahan pertanian yang bisa dikelola oleh petani. “Terjadi konversi kepemilikan lahan dari petani ke nonpetani. Karena nonpetani itu tidak memiliki sense, keinginan untuk kemudian mengolah lahan tersebut untuk dunia pertanian itu hanya digunakan untuk gambling,” ujar Pengamat Pertanian IPB,  Andreas dalam perbincangan Sarapan Pagi KBR, Jumat (19/12).

Berikut petikan wawancara selengkapnya bersama Andreas.

Presiden Jokowi menargetkan swasembada tiga tahun mendatang. Untuk mencapai target itu membuat puluhan waduk dan irigasi. Apakah ini cukup untuk swasembada beras?

Memang itu langkah pertama yang perlu dilakukan. Karena apa pun irigasi menjadi faktor kunci karena 52 persen jaringan irigasi di Indonesia kan rusak. Tapi yang lebih penting sebenarnya untuk mencapai target tersebut yaitu orientasi pembangunan pertanian kita harus dikembalikan atau berorientasi ke petani. Sebab selama ini petani selama ini hanya objek saja, pemerintah menentukan kebijakan dan petani melakukan. Sehingga kemiskinan di level petani semakin lama semakin tinggi 63 persen jumlah orang miskin itu adalah petani. Bagaimana petani yang sementara ini kemudian kita harapkan bisa meningkatkan produksi pangan kita kan sangat sulit.

Apa lagi yang perlu diperhatikan?

Saya baru juga mendengar bahwa benih, pupuk akan dibagikan gratis ke petani dan itu mengulang kesalahan-kesalahan lama. Jadi kalau seperti itu program-programnya maka akhirnya pertanian ini dikelola bisnis seperti biasa sebagaimana sebelumnya. Ketika pertanian dikelola sebagaimana sebelumnya 10 tahun terakhir ini hasilnya jelas gagal karena impor pangan 10 tahun terakhir ini melonjak tinggi. Saya khawatir tiga tahun mendatang bukannya swasembada tapi kita memasuki krisis pangan yang parah.

Kalau melihat perluasan lahan pertanian dan turunnya jumlah petani bagaimana?


Data itu bagi saya data agak kacau. Memang betul saya sering diskusi terkait dengan itu, kalau kita melihat data tersebut jauh lebih rinci detil perluasan lahan yang dikuasai petani hampir semua menurun. Kajian kami di Jawa Tengah yang meningkat itu lahannya hanya petani yang memiliki lahan 1.000 – 2.000 meter persegi. Sedangkan di bawah 1.000 meter persegi itu menurun sangat drastis di atas 2.000 meter persegi semuanya juga menurun.

Makna dari itu semua adalah bukannya lahan pertanian yang menurun tetapi terjadi konversi kepemilikan lahan dari petani ke non-petani. Karena non-petani itu tidak memiliki sense, keinginan untuk kemudian mengolah lahan tersebut untuk dunia pertanian itu hanya digunakan untuk gambling. Ketika harga tanah yang dia beli dari petani tersebut meningkat sudah dilepas dan tidak mungkin petani yang akan beli.

Konversinya kebanyakan untuk apa sejauh ini?

Sebenarnya konversi lahan pertanian ke non-pertanian itu sering diungkapkan sekitar 60.000 -  100.000 meter persegi. Itu untuk jalan, perumahan, bisnis, dan sebagainya. Tetapi bagi saya justru yang jauh lebih berbahaya adalah konversi kepemilikan lahan dari petani ke bukan petani. Ini yang terjadi masif di Indonesia. Lihat saja di Karawang misalnya itu 80 persen lahan pertanian di sana dimiliki oleh orang Jakarta.

Daerah mana yang paling memerlukan waduk dan irigasi?

Membangun waduk itu tidak mudah. Lahan-lahan yang barangkali tersisa untuk pembangunan waduk mungkin di luar Jawa. Ketika kita membangun waduk dan kemudian sarana pertanian lain pertanyaan selanjutnya siapa nanti yang mengelola? ada atau tidak petaninya di sana. Sehingga program yang paling realistis memang meningkatkan, memperbaiki saluran-saluran irigasi yang sekarang ada. Tetapi memang sebagian besar saluran-saluran irigasi atau lahan-lahan sawah yang beririgasi teknis ini ada di Jawa. Di Jawa kita berhadapan dengan persoalan yang cukup pelik, pertama konversi lahan pertanian ke non-pertanian dan kedua konversi kepemilikan lahan dari petani ke bukan petani.

Pemerintah menyadari adanya konversi ini?


Justru itu yang dikemukakan pemerintah selalu memandang ketika terjadi penurunan jumlah petani sekitar 5 juta keluarga tani itu kemudian diapresiasi positif. Saya tidak paham mengapa mereka tidak melihat data tersebut jauh lebih detil. Jumlah petani menurun dari sekitar 31,15 juta keluarga tani menjadi 26,1 juta keluarga tani. Berarti menurun 5 juta keluarga tani selama 10 tahun terakhir atau setiap tahun 500 ribu keluarga tani. Dalam arti sekitar 500 ribu keluarga tani tersebut terdesak dan harus keluar dengan terpaksa dari lahannya. Kemudian menjadi masyarakat miskin kota karena sistem pertanian kita pemerintah hanya fokus pada produksi.

Mereka lupa bahwa jauh lebih penting siapa yang memproduksi dan kesejahteraan petani luar biasa buruk saat ini. Kalau kita hitung data terakhir Bappenas, dalam arti pendapatan petani itu lebih rendah dari UMP terendah di Indonesia hanya sekitar Rp 1 juta untuk satu keluarga tani. Jadi bagaimana bisa kalau fokus kita hanya masalah produksi dan melupakan petani maka kesalahan akan berulang dan kesalahan itu sudah kita lakukan selama 30 tahun terakhir ini dan sangat masif selama 10 tahun terakhir ini. Karena orientasi pembangunan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Tapi pemerintah hanya berpikir ke produksi lupa, sehingga seperti subsidi pupuk atau benih itu petani sudah berteriak hapuskan saja. Bukannya subsidi tersebut dihapuskan tapi dialihkan langsung ke kas daerah. Tapi sekarang ini yang kemarin Menteri Pertanian menyatakan, kalau mau digratiskan pupuk. Kan sekarang anggaran pupuk 2015 ini Rp 35 triliun, dua kali lipat dibanding tahun 2014. Itu peningkatan luar biasa dan sementara ini pengamatan kami siapa yang menikmati subidi tersebut ya perusahaan-perusahaan pupuk, jalur distribusi pupuk itu.            
   
Editor: Anto Sidharta

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending