KBR68H, Jakarta – Apakah pemekaran daerah yang sudah dilakukan sejak 1999 selalu menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik serta mampu menyejahterakan masyarakat setempat? Jawabannya mungkin bisa beragam. Tetapi, dari survei yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap 205 daerah otonom baru mungkin bisa dijadikan sebagai acuan. Berdasarkan survei tersebut, lebih dari 80 persen daerah otonom baru gagal mencapai target untuk meningkatkan pelayanan publik dan menyejahterkan masyarakat setempat.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, kegagalan daerah otonomo baru itu seharusnya membuat pemerintah dan juga DPR tidak lagi membuat keputusan untuk memekarkan daerah baru. Akan tetapi, pada 22 Oktober lalu, DPR mengesahkan lima daerah otonom baru yaitu Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Pesisir Barat (Lampung), serta Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak (Papua Barat) dan provinsi Kalimantan Utara.
“Kebutuhan RI untuk memekarkan daerah sudah klimaks pada tahun 2008 Desember, ketika ada evaluasi terhadap perjalanan pemekaran daerah yang justru menghasilkan perda bermasalah. Kemdagri mulai tiarap dan kontemplasi hasil kajian tentang otda khsususnya pemekaran sudah dilakukan dan dilaporkan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketika itu) dan Mendagri Mardiyanto bahwa 83 persen dar idaerah yang dimekarkan bermasalah karena secara potensi ekonomi, SDM, birokrasi betul betul tidak mendukung, faktor positif untuk kinerja pemda. Argumen dari perspektif keuangan negara, untuk apa menggelontorkan uang trilyunan ke daerah otonom baru yang jumlahnya 205 kalau tidak ada imbalan,”ungkap Siti Zuhro.
Lalu bagaimana nasib provinsi Kalimantan Utara yang sudah disetujui sebagai provinsi RI ke-34? Siti Zuhro menilai, peluang Kaltara untuk mengikuti jejak provinsi Gorontalo dan juga Kepri yang sukses sebagai daerah otonom baru cukup besar. Karena, Kaltara mempunyai potensi ekonomi yang mencukupi sehingga bisa mandiri lebih cepat.
Namun, kata Siti, faktor paling penting untuk menentukan kesuksesan sebuah daerah otonom baru adalah sumber daya manusia dan juga kepemimpinan. Dua faktor inilah yang gagal dijalankan dan diterapkan oleh 80 persen daerah otonom baru.
“Sumber daya manusia ini bukan hal yang mudah. Daerah induk biasanya keberatan untuk melepaskan SDM terbaiknya ke daerah otonom baru. Kasus rebutan SDM ini terjadi di kota Batu, Malang yang ketika itu baru dimekarkan. Daerah induk tidak mau melepas SDM andalannya. Kasus ini tidak hanya terjadi di kota Batu, tetapi juga di sebagian besar daerah otonom baru,”ungkap Siti Zuhro.
Tiru Sukses Gorontalo
Siti Zuhro mengungkapkan, provinsi Kaltara harus meniru langkah Gorontalo sebagai salah satu provinsi pemekaran yang berhasil menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom baru.
“Kita lihat dalam kasus Gorontalo, peran Pak Fadel Muhammad sebagai seorang Gubernur sangat besar. Dia bisa mengatur dan juga menjalankan tugasnya sebagai Gubernur di daerah otonom baru. Warga juga senang dipimpin oleh Gubernur yang sangat paham dengan geografis serta permasalahan yang terjadi di Gorontalo. Hal seperti ini yang harus ditiru oleh provinsi Kalimantan Utara yaitu memilih seorang pemimpin yang tepat dan mampu melaksanakan tugasnya di daerah otonom baru dengan baik,”jelas Siti Zuhro.
Menurut dia, provinsi Kaltara punya waktu yang lebih lama dibandingkan provinsi Gorontalo untuk mencari sosok pemimpin yang tepat. Karena, pemilukada di Kaltara baru akan dilakukan pada 2015. Jadi, Kaltara punya waktu sekitar tiga tahun. Karena itu, peran Pelaksana tugas Gubernur Kaltara selama masa transisi atau persiapan juga tidak kalah penting.
“Ibaratnya seorang bayi, maka harus ada pengawasan secara khusus kepada daerah otonom baru. Karena itu, pemerintah pusat dan juga provinsi induk harus mengawal dan juga mendampingi. Tugas seorang Plt Gubernur tidak kalah berat, karena dia harus mempersiapkan semua infrastruktur, mulai dari pembentuk KPU hingga DPRD dan terakhir menyiapkan pelaksanaan pemilukada,”jelas Siti.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, provinsi Kalimantan Utara bisa mengikuti jejak Gorontalo sebagai salah satu provinsi pemekaran paling sukses. Karena, provinsi tersebut punya sosok seorang pemimpin yaitu Jusuf SK, bekas Walikota Tarakan yang juga salah satu inisiator pemekaran Kalimantan Utara.
“Jusuf SK saya pikir akan menjadi kandidat kuat untuk memimpin provinsi Kalimantan Utara. Dia sudah memperjuangkan kehadiran Kaltara sejak masih menjadi Walikota Tarakan. Tidak terhitung berapa kali Jusuf SK harus bolak-balik Tarakan-Jakarta untuk mengusung pemekaran Kaltara,”jelas Robert.
Kalimantan Utara juga diyakini tidak akan kekurangan SDM yang handal. Sukses Kota Tarakan sebagai daerah otonom baru merupakan modal besar bagi pemerintahan Kalimantan Utara. Menurut Robert, Jusuf SK berhasil melakukan terobosan besar di Tarakan, terutama dalam hal efisiensi anggaran dan juga penuntasan masalah sampah. Kebijakan Jusuf SK tersebut didukung penuh oleh semua Satuan Kerja Perangkat Daerah di Tarakan. Karena itu, tidak heran apabila nama Jusuf SK – yang kini menjadi Ketua Masyarakat Kaltara Bersatu – digadang sebagai calon kuat Kaltara 1.
Kunci Sukses Kaltara: SDM dan Kepemimpinan
Apakah pemekaran daerah yang sudah dilakukan sejak 1999 selalu menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik serta mampu menyejahterakan masyarakat setempat? Jawabannya mungkin bisa beragam.

NUSANTARA
Senin, 17 Des 2012 09:36 WIB


kaltara, kalimantan utara
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai