KBR, Balikpapan - Dialihkannya kewenangan mengeluarkan izin tambang dari bupati ataupun walikota ke gubernur seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan pro dan kontra.
Penolakan itu disampaikan Bupati Kutai Timur Isran Noor dalam seminar monitoring dan evaluasi atas hasil koordinasi dan supervisi pertambangan dan batubara di Balikpapan, Kamis (27/11).
Dalam kesempatan itu Isran menuding lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 telah mengkhianati reformasi dan mereduksi otonomi daerah. Karena tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Karena itu Isran berharap pemerintah sekarang dapat konsisten menyelenggarakan sistem pemerintah yang telah menjadi tuntutan reformasi yakni otonomi daerah sebuah pelayan kepada rakyat yang dekat dan langsung.
Senada disampaikan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari yang menganggap perizinan menjadi ribet dan dilematis, termasuk pengawasannya.
"Saya bukan khawatir cuma pengawasan ini. yang status nasional (PKP2B) banyak itu ngak terurus di daerah saya. Apalagi tambang pak gubernur mau mengurusi mana sanggup," ujarnya.
Selain itu lanjutnya, penambang nasional tidak banyak memberikan kontribusi besar bagi daerah. Khususnya menyangkut tanggungjawab sosial perusahaan untuk pembangunan dan masyarakat di daerah.
"CSR (Corporate social responsibility) ada tapi kecil sekali kontribusi ngak ada. Seharusnya tambangnya besar dia berani buat hotel dis ana yang besar kayak di sini," kritiknya.
Rita juga mengungkapkan selama beberapa tahun hingga 2010 lalu, Kabupaten Kutai Kertanegara tidak menikmati pajak daerah dari pertambangan padahal daerah operasi berada di wilayahnya.
Dia menambahkan, di Kabupaten Kutai Kertanegara dari 200 izin tambang yang dikeluarkan pemerintah kabupaten sudah ada 5 yang dicabut sedangkan 22 IUP (izin usaha pertambangan) dibekukan dengan peringatan 1 sampai 3.
Editor: Antonius Eko