Kalau Anda datang ke Kelurahan Watusampu di barat Kota Palu, yang terlihat adalah kapal tongkang pengangkut pasir, batu dan kerikil, dari Kota Palu ke Kalimantan Timur. Padahal kalau Anda menyambangi daerah ini pada tahun 1990an, pemandangan indah akan menyambut. Di sisi kanan, terlihat nelayan berperahu mencari ikan sementara di kirinya barisan pegunungan hijau yang ditumbuhi kelapa, srikaya, mangga, dan pepohonan lain tegak berdiri.
Ini semua gara-gara aktivitas tambang galian C yang marak di Kelurahan Watusampu. Saban hari, truk-truk perusahaan mengangkuti bebatuan yang sudah dihancurkan juga pasir untuk dimuat di tongkang yang sudah menunggu di bibir Teluk Palu.
Nandar (35), warga Watusampu, mengatakan ia dan keluarganya “dipaksa” menghirup debu akibat tambang tersebut. Jika protes, yang akan ia hadapi bukan orang yang memiliki kewenangan, melainkan sesama warganya yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Saya pernah batuk darah, begitu juga dengan anak saya yang berumur tiga bulan harus menghirup debu. Petugas puskesmas menyarankan saya memakai masker ,” tuturnya.
Nandar juga pernah memasang palang kayu di jalan samping rumahnya yang dilalui truk pengangkut sirkutil. Hal itu merupakan bentuk kekesalannya karena debu yang beterbangan benar-benar mengganggu keluarganya dan warga sekitar. Namun, aksinya tidak berhasil. Hingga kini kegiatan penambangan tetap berjalan.
Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Sulawesi Tengah mencatat, sebanyak 1.600 kepala keluarga berada di Watusampu. Sejak sepuluh tahun lalu, warga terpaksa menghirup debu ini.
“Tahun 2006 saja sebanyak 600 orang terkena penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Dengan giatnya aktivitas tambang dipastikan jumlah penderitanya meningkat pula,” ujar Dedi, Direktur YPR.
Sampai saat ini belum ditemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Watusampu Wisran yang dulunya tegabung dalam gerakan penolakan tambang, tak bisa berbuat banyak. Protes kepada Pemerintah Kota Palu, sia-sia.
“Ini dilema. Di satu sisi masyarakat butuh penghidupan, di sisi lain dampak lingkungan yang ditimbulkan cukup parah. Sebagian masyarakat mengambil jalan dengan cara menjadi pekerja di perusahaan tambang,” ujar Wisran. Padahal keberadaan perusahaan tambang tak sekadar menyerap tenaga kerja dan berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) tapi juga menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan yang tak sedikit.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kota Palu, Yusrini Sushanty Ariani, mengatakan di Kelurahan Watusampu ada sekitar sembilan perusahaan tambang yang aktif. Sementara di Kelurahan Buluri tercatat sepuluh perusahaan. Terkait persoalan debu, hal tersebut sudah dipikirkan Pemerintah Kota Palu terutama meminimalisir dampak buruk dari pertambangan tersebut.
“Pemerintah Kota Palu tengah menyiapkan alat penyiram untuk meminimalisir debu. Terkait realisasi, belum bisa dijamin secepatnya karena dinas ini baru terbentuk delapan bulan,” kilahnya.
Rencana selanjutnya adalah menata jalan ke lokasi tambang sehingga lebih baik. “Mungkin akan dibuat jalan lingkar menuju lokasi tambang,” katanya. Hanya saja, lanjutnya, itu butuh biaya besar.
Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay Indonesia dan Green Radio.
Watusampu Ternoda Tambang Galian C
Kalau Anda datang ke Kelurahan Watusampu di barat Kota Palu, yang terlihat adalah kapal tongkang pengangkut pasir, batu dan kerikil, dari Kota Palu ke Kalimantan Timur. Padahal kalau Anda menyambangi daerah ini pada tahun 1990an, pemandangan indah akan me

NUSANTARA
Selasa, 14 Okt 2014 10:46 WIB


watusampu, galian, tambang
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai