KBR68H, Jakarta- "Di kampung ini, pernikahan dini tinggi sekali. Bahkan banyak orangtua yang suka minder jika anaknya belum menikah, padahal usianya masih remaja. Kalau sudah lulus SD, buru-buru menikah," ungkap Marwan Hakim mengawali perbincangan dengan memaparkan kondisi desanya di Aikperapa, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Marwan Hakim, 35 tahun, baru saja sampai di kampung halamannya, kemarin (Rabu, 30/10), setelah menghadiri puncak acara Satu Indonesia Awards 2013. Oleh PT Astra International Tbk, Marwan diganjar penghargaan sebagai pemuda inspiratif yang berkarya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Lewat pendidikan, bapak tiga anak ini dianggap mampu membawa semangat perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Penghargaan yang tak pernah terbersit di benak Marwan saat memulai usahanya mengentaskan buta huruf di sekelilingnya.
Semua bermula, ketika Marwan remaja yang terpaksa putus sekolah karena tak ada biaya. Sementara untuk mengenyam pendidikan formal, Marwan harus berjalan kaki jauh, karena tak ada sekolah formal di kampungnya.
"Saya ini korban kurang pahamnya orangtua akan pentingnya pendidikan. Saya hanya mondok ngaji,sehingga untuk sekolah SMP saya ke luar pondok. Lalu waktu SMA saya terpaksa drop out hingga kelas dua saja,"ujarnya.
"Tentu saja saya kecewa, sejak itu saya berkomitmen mengubah paradigma orang-orang di kampung ini yang sangat apatis terhadap pendidikan,"tambahnya.
Pada tahun 2002, Marwan mulai membujuk anak-anak untuk mau belajar. Dengan statusnya sebagai ustad, Marwan menggunakan pendekatan agama untuk mengajak anak-anak usia sekolah ini berkumpul. Awalnya belajar agama, lalu di sela-sela itu, Marwan menyisipkan pentingnya pendidikan.
"Sekolah itu dianggap gak penting yang penting adalah ngaji. Makanya anak-anak itu kita doktrin, bahwa pendidikan itu penting. Pada akhirnya anak akan mensosialisasikan ke para orangtua. Jadi pakai filosofi nangkap induk ayam, ketika anak kita tangkap, maka induknya pasti mengikuti,"kata Marwan sambil tertawa.
Dengan keuletan, lama kelamaan semakin banyak anak di daerah kaki Gunung Rinjani itu yang berkumpul. Orangtua juga mulai lulus "mengikhlaskan" anaknya untuk bersekolah di rumah pak Ustad. Keinginan Marwan untuk melihat banyak anak di kampungnya bersekolah lebih tinggi semakin mendekati kenyataan. Namun, masih ada ganjalan di depan mata, yakni status "sekolah" yang selama ini dikelola Marwan bukanlah sekolah formal.
Berbekal tanah warisan seluas 6000 meter persegi, Marwan nekad mendirikan bangunan yang dibagi dalam 3 ruangan kelas, pada tahun 2004. Uang dari hasil bertani yang selama ini dia sisihkan sejumlah Rp 1.750.000 digunakan untuk membeli bahan bangunan. Tak terkecuali sumbangan dari sejumlah orangtua demi terwujudnya sekolah tersebut.
"Melihat kegiatan kita, banyak masyarakat yang terpanggil ikut menyumbang, ikut membangun. Akhirnya 2004 sudah ada gedung, meskipun kegiatan formalnya belum ada,"jelas Marwan.
Ada murid tentu saja ada guru. Untuk menggaet tenaga pendidik, Marwan hanya mengandalkan kepiawaiannya melakukan pendekatan persuasif. Maklum, dia tak mampu menjanjikan penghasilan tinggi untuk para guru ini. Marwan hanya mengajak mereka yang memiliki kemampuan mengajar untuk menularkan ilmunya. Bayarannya Rp 5000 perjam untuk mengajar.
"Kata kuncinya cuma satu yakni silaturahmi. Kita ajak mereka melihat realita, kondisi yang ada di sini. Akhirnya banyak yang terpanggil, ada juga yang tak punya ijazah guru tapi terpanggil, kita beri ruang. Bayarannya seadanya, ketika ada murid yang memberikan iuran hasil panen, kita uangkan, nah itu bisa dipakai untuk transport,"ujar anak pertama dari 11 bersaudara ini.
Gedung sudah berdiri, ratusan murid sudah mengantri untuk bersekolah. Namun, masih ada satu lagi yang harus diurus, yakni ijin mendirikan sekolah formal. Dan hal ini menjadi perjuangan yang membutuhkan kesabaran. Marwan berulangkali mengajukan ijin ke Dinas Pendidikan setempat, namun lebih banyak dijawab dengan gelengan kepala. Saking susahnya, Marwan sempat disarankan untuk menyogok, tapi ditolaknya mentah-mentah.
"Yang saya butuhkan hanya ijin untuk sekolah formal, gedung kami sudah punya, tapi susahnya minta ampun. Kami mondar mandir ke kota kabupaten untuk mengurus ijin. Waktu itu teman-teman yang menyarankan menyogok, tapi saya prinsipnya kalau proses awal kita melakukan hal yang tidak bener, gimana jadinya ntar. Ini khan perbuatan mulia, kita bantu pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kenapa harus nyogok, itu khan gak bener,"katanya.
Setelah melalui perjuangan kurang lebih setahun, akhirnya ijin itu keluar. Marwan akhirnya bisa mewujudkan mimpinya mendirikan sekolah formal SMP dan SMA di Aikperapa. Sekolahnya itu kini sudah meluluskan 200 murid SMP dan 50 siswa SMA. Anak didik Marwan bahkan sudah menyebar ke sejumlah perguruan tinggi.
Capaian demi capaian positif tak membuat Marwan berpuas diri. Kesenjangan pendidikan masih menjadi persoalan yang harus dituntaskan. Fasilitas pendidikan yang masih ala kadarnya juga butuh solusi. Marwan selalu berpegang teguh pada prisip di mana ada kemauan pasti ada jalan.
"Potensi bisa, potensi tidak bisa itu selalu ada. Intinya adalah kemauan berbuat, di mana kemauan pasti ada jalan. Kita harus lepas ketergantungan pada siapapun. Masih banyak persoalan, fasilitas pendidikan juga perlu dibenahi, kami ingin mendirikan perpustakaan, guru-guru belum punya kantor. Target kita anak-anak desa tak kalah dengan anak kota,"tegasnya.
Sebagai pemuda yang memberi inspirasi, Marwan berpesan kepada generasi muda untuk tak minder berbuat sesuatu untuk bangsa.
"Teman-teman jangan mikirnya sekarang, kita punya potensi yang sama, kok. Siapa lagi yang bisa membangun negara, kalau bukan kita. Ingat kita lahir dari sejarah, lalu kita menjadi pelakon sejarah, menciptakan sejarah dan nantinya akan meninggalkan sejarah. Jangan pernah minder, pesimis, kita punya potensi untuk berbuat sesuatu untuk bangsa,"pungkasnya.
Marwan Hakim, Bermodalkan Rp 1,7 Juta Bangun Sekolah di Wilayah Terpencil
KBR68H, Jakarta- Di kampung ini, pernikahan dini tinggi sekali. Bahkan banyak orangtua yang suka minder jika anaknya belum menikah, padahal usianya masih remaja.

NUSANTARA
Kamis, 31 Okt 2013 12:51 WIB


marwan hakim, pendidkan, Aikperapa, astra
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai