KBR, Banyuwangi- 21 kepala sekolah SDN
di Banyuwangi mengaku dimintai jatah oleh pejabat Dinas Pendidikan
Banyuwangi setelah menerima dana perbaikan ruang kelas dari APBN
2014. Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banyuwangi,
Paulus Agung mengatakan ini merupakan hasil pemeriksaan terhadap
mereka terkait kasus permintaan jatah perbaikan ruang kelas.
Kata
dia, dari pemeriksaan itu, tiga kepala sekolah menolak untuk
memberikan jatah sebesar 9 hingga 10 persen seperti yang diminta
pejabat Dinas Pendidikan Banyuwangi, Jawa Timur. Sementara, satu
kepala sekolah bertindak sebagai koordinator yang mengumpulkan jatah
tersebut.
“Dari dua puluh kan satunya si Ririn ya. Si
Ririn sudah dipersiapkan masalhanya waktu pengerebekan di tasnya ada
17 juta katanya untuk membayar itu. Tapi tidak tau entah fee nya buat
dia atau dia yang mau serahkan tidak tahu juga. Karena dia tidak
setuju dengan kebijakan begini. Sempat Tarik ulur, yang mau
disampaikan dari permintaan 15 akhirnya turun ke 10 kan karena banyak
yang tidak setuju,” kata Paulus Agung (20/09).
Kepala
Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banyuwangi Paulus Agung
menambahkan, temuan lainya dalam pemeriksaan itu, proposal pengajuan
dana rehab yang seharusnya dibuat pihak sekolah, ternyata dikerjakan
seluruhnya oleh staf Dinas Pendidikan Banyuwangi. Setiap sekolah
kemudian diminta memberikan uang jasa pembuatan proposal sebesar 200
ribu.
Selain itu, dinas Pendidikan juga menunjuk konsultan
perencana dan meminta sekolah mengalokasikan 4 persen. Padahal
penunjukan konsultan perencana seharusnya menjadi wewenang sekolah
dan komite siswa.
Kasus ini bermula saat Kejaksaan negeri
Banyuwangi menangkap tiga tersangka pertama di SDN Tampo Banyuwangi.
Barang bukti yang disita yakni, uang tunai Rp 211 juta lebih. Tiga
tersangka itu yakni Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan
Kecamatan Kalibaru Ahmad Munir, Kepala Sekolah Dasar 9 Kalibaru Wetan
Ririn Puji Lestari, dan seorang anggota LSM bernama Ahmad
Farid.
Editor: Nanda Hidayat