KBR, Lhokseumawe – Kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan kaum perempuan di Provinsi Aceh yang dikenal sebagai Negeri Serambi Mekah. Kalangan aktivis perempuan di Aceh menilai pemberlakuan hukum Syariat Islam menjadi penyebabnya.
Hal ini diungkap Juru Bicara Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, Safwani terkait kebebasan perempuan Aceh di tengah peringatan Hari kemerdekaan RI ke -69 yang jatuh pada Minggu, 17 Agustus besok.
Menurut Safwani, peraturan daerah atau qanun kurang melibatkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan. Ini membuat qanun yang dihasilkan pun lemah dan pelaksanaannya jalan di tempat. Misalkan, pemberlakuan peraturan berhijab, duduk mengangkang, larangan ketenagakerjaan bagi perempuan pada malam hari, berbusa muslim, dan lainnya.
”Di jalanan banyak sekali tren buruk sekarang yang ngangkang style atau duduk ngangkang. Kalau qanun ini diterapkan, bagaimana dengan di kala situasi lagi darurat, otomatis bisa berbahaya, seperti bonceng keluarga yang sakit atau keperluan mendadak dan yang menempuh perjalanan jauh, tak mungkin untuk duduk menyamping tentu berbahaya, ” ucap Safwani kepada Portalkbr, Kamis (14/8).
Pelanggaran untuk qanun lainnya, tambah dia, juga begitu tinggi khususnya di kota-kota besar Karenanya, kata Safwani, pelibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan sangat penting.
”Libatkan perempuan di dalamnya, biar program yang dijalankan sinergisitas tak menzalimi hak-hak dimaksud. Ini Pekerjaan Rumah (PR) yang harus terselesaikan, ” tandasnya.
Perempuan dalam Keluarga
Selain itu, kata dia, perempuan di Aceh kerap mendapat diskriminasi usai bercerai. Para mantan suami kerap seringkali mengabaikan tanggung jawabnya dalam menafkahi anak-anaknya, dengan dalih tidak diberi bukti sah perceraian atau surat cerai dari Mahkamah Syari’at.
Padahal, kata Safwani, dalam anjuran Islam setiap lelaki yang sudah bercerai diwajibkan bertanggung jawab dalam memberikan nafkahnya kepada anak yang ditinggalkan. Walaupun, sudah tanpa ikatan berumah tangga.
”Inilah hak-hak yang belum terpenuhi. Perempuan kita jelas belum merdeka, sebab kaum Adam banyak yang tidak memasukkan gugatan perceraiannya ke pengadilan. Ini persoalan besar yang seharusnya tak perlu terjadi,” katanya.
Soal ini, salah seorang warga, Fatimah mengaku, sejak dua tahun menjanda tak memiliki surat perceraian. Bahkan, semua tanggung jawab hidup harus dipikulnya sendiri, guna membesarkan anaknya yang tanpa ayahnya akibat kasus cerai liar.
Sementara seorang bekas Pasukan Inong Balee Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hamidah mengaku, sekarang ia masih seperti dulu saat di Aceh masih terjadi konfik. Walau Aceh sudah damai, ia tidak merasakan adanya perbaikan perekonomian.
Pemerintah, kata dia, sudah lupa dengan hak-hak perempuan. ”Sudah menjanda, tak ada usaha karena kesulitan modal usaha. Pemerintah Indonesia sudah berdamai dengan GAM, tapi Kami masih menjerit alias belum merdeka,” ucapnya.
Ia hanya berharap agar ke depan, Pemerintah Pusat dan Pemda di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa memikirkan lebih serius nasib perempuan.
Editor: Anto Sidharta
Hari Kemerdekaan di Mata Perempuan Aceh
Kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan kaum perempuan di Provinsi Aceh yang dikenal sebagai Negeri Serambi Mekah. Kalangan aktivis perempuan di Aceh menilai pemberlakuan hukum Syariat Islam menjadi penyebabnya.

NUSANTARA
Sabtu, 16 Agus 2014 13:13 WIB


Hari Kemerdekaan, Perempuan Aceh
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai