KBR, Banyuwangi - Pemerintah Indonesia dinilai tidak bisa menghadang masuknya gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) hanya dengan cara respresif.
Pengamat Timur Tengah dan dan Pemikir Islam Haidar Bagir mengatakan, upaya-upaya preventif lebih penting untuk menghadang langkah gerakan radikal ISIS tersebut. Kata Haidar, sikap ekstremis justru sering lahir dari kelompok yang terlantar dan terpinggirkan.
Sehingga pemerintah diminta untuk menjamin keadilan distribusi ekonomi di kalangan menengah ke bawah. Sebab tanpa keadilan ekonomi, kelompok-kelompok terpinggiran itu akan menjadi sasaran empuk masuknya ideologi radikal.
Selain itu, mengintensifkan dakwah dinilai juga bisa mencegah masuknya gerakan radikal tersebut.
“Ada dua hal yang bisa dilakukan. Satu mendakwahkan Islam yang sejati yaitu Islam yang rahmatallilalamin itu. Yang kedua, menurut saya yang bersifat preventif. dari penelitian menunjukkan sikap-sikap ekstrim seperti ini itu muncul dari kalangan yang merasa terlantar, terasing, tidak terperhatikan, merasa tertindas. Jadi saya kira negeri ini juga penting untuk memastikan ada keadilan distributif,” kata Haidar Bagir (5/8).
Haidar Bagir menambahkan, langkah prefentif membutuhkan penanganan hukum yang cukup serius. Sehingga ancaman dari pemerintah tentang pencabutan kewarganegaraan bagi warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS dinilai tepat. Karena gerakan ISIS bertentangan dengan demokrasi yang dianut Indonesia.
ISIS sebelumnya, meluluhlantakkan wilayah barat dan timur Irak sejak awal 2014. Termasuk menghancurkan pusat peninggalan budaya Irak. 24 Juli lalu, ISIS menghancurkan makam Nabi Yunus di Kota Mosul, tempat suci umat Islam dan Kristen.
Editor: Antonius Eko