KBR68H, Jakarta - Pemerintah diminta berhati-hati saat mengupayakan rekonsiliasi warga Syiah Sampang. Kehatian-hatian menjadi penting agar hasil rekonsiliasi tak hanya dirasakan sementara.
Hal tersebut merupakan isi dari laporan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) tentang penyerangan terhadap jemaat Syiah Sampang Madura. Laporan itu disampaikan anggota tim rekonsiliasi Sampang, Syamsul saat datang ke kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).
Menurut Syamsul, rekonsiliasi yang penuh intimidasi hanya akan membuat kekerasan terus terjadi, sedang warga Syiah akan terus sakit hati.
“Karena itu kita harus hati-hati dalam mengusahakan agar proses rekonsiliasi itu benar-benar terjadi secara permanen. Bukan hanya pengembalian sementara, peredaan sementara, tapi kemudian muncul kasus-kasus lanjutan,” kata Syamsul.
Semnetara, Komnas HAM menilai pejabat pusat dan daerah gagal memaknai tujuan dari rekonsiliasi warga Jemaat Syiah Sampang. Juru Bicara Komnas Imdadun Rahmat mengatakan hal itu tampak dari penyikapan pemerintah terhadap diskriminasi dan pengusiran warga Syiah dari Sampang ke Sidoarjo Jawa Timur. Menurut Imdadun, pejabat pusat dan daerah yang ditunjuk gagal mengawal rekonsiliasi.
"Sisi institusi-institusi dimana pejabat yang terlibat langsung dalam rekonsiliasi, baik dari pusat maupun daerah, dalam catatan kami ada indikasi ketidakjelasan posisi negara dalam konteks hubungan antara agama dan negara. Jadi kelihatan bahwa negara merasa berhak menjadi wasit mana agama yang benar dan tidak, padahal itu bukan wilayahnya." ujar Imdadun Rahmat.
Komnas juga meminta pemerintah menjamin setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan sesuai amanat Undang-Undang 1945. Menurut Imdadun, konsep dari rekonsiliasi bukan bagian dari tobat menobatkan sekelompok orang.
Sebelumnya, warga Syiah dipaksa untuk keluar dari kepercayaannya. Intimidasi itu dilakukan Bupati Sampang, Kepolisian dan Tokoh Ulama Sampang. Menurut Komnas HAM, pemaksaan terhadap warga Syiah untuk tidak meyakini kepercayaannya dianggap sebagai pelanggaran HAM dan undang-undang.
Editor: Antonius Eko