“Saya prihatin dengan kekayaan hutan Kalimantan Timur yang dibiarkan habis dibabat oleh perusahaan HPH,” kata Suhendri.
Suhendri sejatinya orang Sukabumi asli. Dia datang ke Tenggarong untuk bekerja di persemaian milik Dinas Kehutanan.
Tahun 1985, Suhendri mulai menanam bibit damar (Agathis Lorantifolia) yang ia peroleh dari rekannya di Sukabumi. Semula banyak yang tak yakin pohon damar bisa tumbuh di Tenggarong, mengingat pohon ini biasanya tumbuh di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Tapi di tangan Suhendri, pohon damar tetap tumbuh. Area yang ditanami pohon kini sudah menjadi hutan dengan koleksi lebih dari 50 spesies tanaman. Di sela-sela pohon damar, merati, kapur, pinus, kayuputih, ulin dan sengon, Suhendri melakukan tumpang sari dengan menanam kopi dan teh.
“Tanah di sini cocoknya untuk tanaman jangka panjang, tanaman keras. Usaha perkebunan dan kehutanan yang harus diutamakan. Kalau untuk tanaman pangan ya biarlah di Jawa dan Sumatra saja.”
Menurutnya, untuk membangun hutan, sebenarnya tidak membutuhkan modal yang amat besar. Yang penting, kata Suhendri, adalah niat, kesungguhan dan ketekunan. Selama lebih 30 tahun ini Suhendri telah membuktikan bahwa ia mampu untuk menghijaukan wilayah hutan, yang kini bak oase oksigen bagi kota Tenggarong.
Kini di hutan yang sudah lebat, di salah satu lembar papan tertempel kertas berisi sebait puisi yang ditulis Suhendri: “Kalimantan Hutan Bangris, Bangris digasak illegal logging, Hutan habis tinggal menangis, Pusing tujuh keliling”.
Sudah lebih 30 tahun Suhendri mengolah dan merawat lahan yang asri. Segudang penghargaan sudah datang dari Pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten. Salah satu yang membuat ia paling merasa bangga adalah saat diundang untuk menghadiri peringatan HUT Proklamasi di Istana Negara. Saat itulah ia bertemu dan bersalaman dengan Presiden Suharto menjelang berakhir masa pemerintahannya.
Tapi bagi Suhendri, penghargaan bukanlah tujuan.
“Terserahlah, itu bukan urusan saya,” ujar Suhendri singkat.
Di dinding pondoknya juga banyak tergantung foto dari rombongan mahasiswa, peneliti dan aparatur negara dari berbagai daerah. Mereka datang untuk belajar dan bertukar pengalaman, menimba ilmu yang diperoleh Suhendri dari interaksi dengan wanataninya.
“Itulah kebahagian terbesar saya, karena apa yang saya lakukan bukan hanya bermanfaat untuk alam melainkan juga untuk ilmu pengetahuan,” kata Suhendri dengan mata berbinar.
Lahan yang sudah disulap jadi hutan Kota Tenggarong sempat juga ditawar untuk dijual seharga Rp 10 miliar. Tapi Suhendri justru makin kuat dengan tekadnya. Ia ingin lahan miliknya itu menjadi paru-paru bagi kotaTenggarong dan tempat persinggahan berbagai satwa. Kelak Suhendri ingin menyerahkan hutan miliknya kepada pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara untuk dijadikan hutan kota.
Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay dan Green Radio.