KBR68H, Jakarta – Basirudin Azis sudah 7,5 tahun tinggal di Transito, Nusa Tenggara Barat. Dia meninggalkan kampung halamannya di Ketapang, Lombok Barat pada 4 Februari 2006 pasca insiden penyerangan dan pengusiran paksa oleh warga setempat. Bersama 116 orang lainnya, Basrudin menempati sebuah wisma milik Dinas Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
“Bentuknya seperti gedung sekolah, ada ruangan-ruangan. Ruangan itulah yang kami sekat dan kemudian kami tutup dengan kain. Tidak ada kunci. Kami tinggal disini selama hampir 7,5 tahun. Listrik sempat dimatikan oleh PLN begitu juga dengan pasokan air. Sekarang sudah lebih baik, listrik dan air tidak lagi bermasalah,”kata Basirudin ketika dihubungi KBR68H melalui sambungan telepon.
Ketika pertama kali tinggal di Transito, para jemaat Ahmadiyah itu masih mendapatkan bantuan dari Pemprov NTB. Bantuan itu bukan dalam bentuk uang melainkan bahan makanan seperti beras, sarden hingga mie. Akan tetapi, bantuan itu dihentikan pada Januari 2007.
“Kami sudah menanyakan hal ini kepada Kepala Dinas Sosial. Jawabannya, bantuan hanya untuk korban bencana. Kami berusaha menanyakan masalah ini kepada Gubernur NTB, namun sulit sekali bagi kami untuk bisa bertemu dengan Pak Gubernur,”ujarnya.
Jemaat Ahmadiyah di Transito bertahan hidup dengan melakukan pekerjaan serabutan. Ada yang menjadi tukang ojek, buruh pasar, petani hingga berdagang. Semua itu dilakukan untuk bisa tetap bertahan hidup dan juga menyekolahkan anak-anak mereka.
Diskriminasi juga sempat dialami anak-anak jemaat Ahmadiyah Transito. Ketika itu, anak-anak jemaat Ahmadiyah Transito sempat dikucilkan di sekolah oleh guru dan juga murid lainnya.
“Akhirnya kami memberi penjelasan kepada guru tentang Ahmadiyah. Mereka bisa mengerti dan anak-anak kami tidak lagi mengalami diskriminasi,”jelasnya.
Aktivitas jemaat Ahmadiyah di Transito tidak banyak berubah selama bulan puasa. Sahur terkadang dilakukan secara bersama-sama, dengan makanan ala kadarnya. Begitu pun dengan buka puasa. Meski sudah 7,5 tahun tinggal di Transito, keinginan untuk kembali ke kampung halaman tetap menggelora.
“Kami semua ingin kembali ke kampung halaman. Kami ingin bisa hidup normal seperti warga lain, tanpa harus menerima perlakuka diskriminasi dan juga intimidasi. Keinginan kami ini sudah disampaikan kepada pejabat Pemprov NTB. Namun, mereka belum bisa memenuhi keinginan kami karena tidak ada jaminan keamanan apabila kami kembali ke kampung halaman,”kata Basirudin.
Basirudin juga sempat menitipkan pesan kepada anggota Komnas HAM yang berkunjung ke asrama Transito, beberapa waktu lalu.
“Kami ingin bisa tinggal dimana pun juga dengan perasaan aman,”tutupnya.
Jemaat Ahmadiyah: Kami Ingin Hidup Normal seperti Warga Biasa
KBR68H, Jakarta

NUSANTARA
Selasa, 30 Jul 2013 12:32 WIB

ahmadiyah, transito, hidup normal, NTB
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai