KBR, Konflik politik lokal di Sulawesi Tenggara, sangat mempengaruhi proses seleksi calon independent di provinsi tersebut. Hal itu membuat Indeks Demokrasi Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013 menempati urutan ke-33 dari 33 provinsi atau terburuk di Indonesia. Konflik politik lokal tersebut, mengarah ke suku dan kekerabatan. Hal ini disampaikan Direktur Perludem Titi Anggraini.
“Fragmentasi suku yang dimiliki oleh seseorang, juga berpengaruh terhadap jabatan politik. Politik kekerabatan kuat di Sultra sangat kuta. Di DPRD saja, relasi keluarga antara pimpinan DPRD dan walikota, sangat kuat. Lalu ada kepentingan melalui perusahaan usaha tambang dan intervensi birokrasi dalam pengambilan keputusan yang harusnya mandiri,” ujarnya saat berbincang bersama KBR pada program Daerah Bicara, Rabu (17/6/2015).
Ia menambahkan, meski Indeks ekonomi Sultra tinggi, tidak serta merta mendewasakan kultur politik.
”Ini unik, tingkat ekonomi Sultra yang tidak buruk dibanding provinsi lain, tapi indeks demokrasinya sangat rendah. Ternyata uang atau modal menjadi pengendali, akhirnya mempengaruhi birokasi dan karakter politik peserta pemilu dan ormas. Ini harus dirombak dan betul-betul menjadi perhatian pemerintah” jelas Titi.
Kata dia, untuk menyikapi hal ini, harus ada itikad baik dari pembuat kebijakan. Jika tidak, maka pihak ketiga harus masuk untuk menengahi dan membuat kondisi yang lebih baik.
Senada dengan Titi, Pendiri Pusat kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra, Kisran Makati, setuju kalau penilaian Indeks Demokrasi Sultra terburuk di Indonesia.
Menurutnya, salah satu faktor indikasi penilaian tersebut adalah pelayanan publik dan demokrasi transaksional.
“Demokrasi di Sultra dilakukan secara transaksional, dengan menggunakan potensi sumber daya alam (SDA). Seperti perkebunan sawit dan tebu yang menjadi alat transaksional bagi incumbent atau bupati yang sedang berkuasa. Dan ini memperburuk keadaan demokarsi di Sultra,” ujarnya.
Selain itu, pelayanan publik di Sultra juga tertutup dari akses, yang membuat pergerakan demokrasi cukup lamban, karena segalanya terbatas.
Untuk itu, warga Sultra saat ini tengah memperjuangkan disahkannya pembentukan Komisioner Informasi Publik, untuk kemaslatan semua pihak yang sudah diajukan sejak 2010 lalu.
Buruknya Indeks Demokrasi yang diterima Sulawesi Tenggara tersebut diukur melalui koding koran, dokumen
tertulis dari pemerintah dan pernyataan pejabat pemerintah daerah.
Indeks demokrasi Sultra tersebut lebih buruk dari tahun 2012.
Editor: Malika