KBR, Solo- Masjid Agung Solo tidak memiliki personel yang memiliki keahlian membaca dan memahami jam istiwa atau jam yang menggunakan metode bayangan sinar matahari. Juru bicara pengurus Masjid Agung Solo, Muhtarom, mengatakan perkembangan teknologi dan nihilnya personel yang memiliki kemampuan membaca dan memahami Jam Istiwa, membuat teknologi kuno tapi masih relevan hingga sekarang ini semakin tersingkir. Menurut Muhtarom, personel ahli Jam Istiwa di Masjid Agung Solo sudah meninggal beberapa tahun silam dan belum ada yang mampu menggantikan. Padahal, Keberadaan Jam Istiwa di masjid ini sangat penting.
“Ya ini jam matahari, bergantung pada keberadaan sinar matahari untuk membentuk bayangan di jam ini. Sejak dulu, di dalam Islam kan waktu shalat itu ditentukan pada pergeseran posisi matahari. Kalau sekarang ya, karena sudah teknologi semakin maju dan personil yang menguasai ilmu tentang Jam Istiwa ini sudah sedo, meninggal dunia, beberapa tahun silam, ya kita pakai waktu shalat yang abadi, kan sudah ada teknologi canggih. Namun, ketika nanti ada personel yang ahli dengan Jam Istiwa ini, ya akan kita fungsikan lagi Jam Istiwa ini.”
Jam Istiwa ini berbentuk lempengan logam yang melengkung dan diukir tulisan berbentuk angka dan garis. Di atas lempengan logam ada paku yang dibuat melintang. Sinar matahari yang menyinari akan membuat bayangan paku tersebut di atas lempengan logam. Kini Jam Istiwa berbentuk monumen kecil di halaman masjid agung Solo. Jam tersebut ditutup dengan kotak kaca.
Kontributor KBR di Solo mencoba mencocokan kondisi bayangan di Jam Istiwa dengan jam digital yang dibawa. Bayangan paku berada di tengah-tengah angka 10 dan 11 di lempengan logam Jam Istiwa sedangkan jam digital menunjukkan pukul setengah sebelas siang tepat.
Editor: Dimas Rizky