KBR, Banyuwangi - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tidak khawatir dengan penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya berimbas ke wilayah ujung Timur pulau Jawa itu.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, Pemerintah Banyuwangi sudah mencegah bertambahnya pekerja seks komersial dengan lebih dulu menutup seluruh lokalisasi.
Pihaknya juga membatasi munculnya titik-titik prostitusi baru dengan menghentikan perizinan berdirinya tempat karaoke baru dan kafe remang- remang. Kedepan kata Anas, pemerintah Banyuwangi akan menambah lebih banyak ruang hiburan terbuka bagi masyarakat.
“Makanya Banyuwangi menutup lebih awal dari Dolly supaya tidak ada imbas dari sana pindah ke Banyuwangi mudah-mudahan bertahap nanti tuntas. Kita kan sudah petakan lokalisasi ini yang dari luar Banyuwangi kita pulangkan, jadi kita fokus mengawasi yang dari Banyuwangi saja,” kata bupati.
“Padahal dulu dari total 600 sekian WTS itu ternyata dari Banyuwangi hanya 30 persen saja kan bahkan mucikarinya itu sebagian juga dari luar. Nah kita pulangkan mereka yang tidak sesuai dari Banyuwangi,” tambahnya.
Sementara itu, Manager Program Kelompok Kerja Bina Sehat (KKBS) Banyuwangi Tunggul Harwanto mengatakan, pihaknya saat ini menyebar sejumlah petugas lapangan untuk memantau migrasi PSK eks Dolly ke Banyuwangi.
Pemantauan dilakukan karena hingga kini Pemerintah Kota Surabaya belum melaporkan jumlah PSK Dolly dari Banyuwangi. Dia khawatir dengan ditutupnya lokalisasi Dolly ini akan menambah jumlah prostitusi baru di Banyuwangi.
Menurut Tunggul, setelah pemerintah Banyuwangi menutup 12 lokalisasi di daerahnya beberapa waktu lalu, ternyata saat ini muncul sedikitnya 11 tempat prostitusi baru. Prostitusi baru itu tersebar di di warung makan, tempat karaoke, permukiman warga dan bahkan ada di ruang terbuka hijau.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Surabaya secara resmi menutup lokalisasi Dolly, Rabu (18/6) malam. Penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu ditandai dengan deklarasi warga dengan Pemkot di Gedung Islamic Center, Surabaya.
Editor: Antonius Eko