Bagikan:

Hari Pengungsi Dunia: 7 Tahun Warga Ahmadiyah NTB 'Tak Diakui' Negara

KBR68H - Sahidin hanya bisa pasrah menjalani hidup. Selama tujuh tahun ia tinggal di pengungsian di Wisma Transito. Tanpa masa depan, tanpa perhatian, tanpa identitas. Bahkan seperti tanpa kewarga negaraan. "Kami diperlakukan seperti bukan warga Indone

NUSANTARA

Rabu, 19 Jun 2013 16:41 WIB

Author

Agus Luqman

Hari Pengungsi Dunia: 7 Tahun Warga Ahmadiyah NTB 'Tak Diakui' Negara

NTB, Mataram, Ahmadiyah, Transito, pengungsi

KBR68H - Sahidin hanya bisa pasrah menjalani hidup. Selama tujuh tahun ia tinggal di pengungsian di Wisma Transito. Tanpa masa depan, tanpa perhatian, tanpa identitas. Bahkan seperti tanpa kewarga negaraan.

"Kami diperlakukan seperti bukan warga Indonesia," kata Sahidin saat dihubungi KBR68H, (19/6). Sahidin diajak berbincang mengenai Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni 2013.

Di Asrama Transito, Sahidin tinggal bersama sekitar 30 keluarga jamaah Ahmadiyah lainnya. Tempatnya berada di Kelurahan Majeluk, sekitar 10 kilometer dari Kota Mataram Nusa Tenggara Barat.

Wisma Transito yang biasanya digunakan untuk menampung para calon transmigran pun berubah menjadi pengungsian warga jamaah Ahmadiyah.

Mereka terusir dari kampung halamannya di Ketapang, Lombok Barat, setelah rumah mereka diserbu kelompok intoleran anti Ahmadiyah pada Februari 2006.

Secara paksa mereka pun diungsikan ke Wisma Transito pada 4 Februari 2006. "Mengungsi bukan pilihan kami, dulu kami diungsikan secara paksa oleh aparat dan oknum pemerintah," kenang Sahidin.

"Sudah tujuh tahun empat bulan kami tinggal di sini," kata Sahidin. "Seharusnya di Indonesia tidak ada yang bernasib seperti kami ini. Saya menyesalkan sikap pemerintah terhadap kami. Indonesia seharusnya tidak ada pengungsi. Kalaupun ada pengungsi, biasanya tidak sampai tahunan seperti kami di Transito."


Kondisi Pengungsian

Selama tujuh tahun itu, sekitar 70 orang dari 30 keluarga harus tinggal berjubel di dalam wisma. Mereka membuat kamar-kamar kecil ukuran 3x3 atau 3x4 meter untuk tiap keluarga. Kamar itu hanya disekat dengan kain; mulai dari spanduk, sarung, kain pelekat, kardus dan lain-lain.

Selama tujuh tahun lebih itu, tidak ada satu pun pejabat negara yang mengunjungi mereka di Wisma Transito.


Jangan berharap kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih sejak 2004, atau pejabat pusat lain. Bahkan Gubernur Nusa Tenggara Barat ke bawah hingga Camat tidak ada satu pun yang mampir. Paling-paling mereka hanya kedatangan staf dari dinas Kota Mataram atau staf dinas provinsi NTB.


"Tapi ya cuma datang saja," kata Sahidin.

Kondisi ekonomi yang terbatas memaksa para pengungsi Ahmadiyah 'mencuri' listrik dari PLN, untuk penerangan di malam hari. Suatu ketika, petugas PLN datang sambil marah-marah. "Bayar listrik dulu!" begitu kata petugas. Karena pengungsi tidak punya uang untuk membayar listrik, petugas PLN mencopot meteran listrik dari Wisma Transito.

"Setelah itu kami pasrah saja. Mau dipenjara atau mau diapain kek, kami pasrah saja. Saya tetap sambung lagi kabel ke kabel PLN," kata Sahidin. Sehari kemudian petugas PLN mengembalikan meteran listrik ke Wisma.


Tak Ada Perhatian

Selama bertahun-tahun mengungsi, Sahidin kerap menjadi penyambung lidah para pengungsi dengan dunia luar.

Sebagai juru bicara warga Ahmadiyah di Transito, Sahidin juga tahu, 20 Juni diperingati sebagai Hari Pengungsi Sedunia. Tapi peringatan Hari Pengungsi Sedunia itu seolah tidak ada pengaruhnya bagi warga pengungsi Ahmadiyah.

"Kalau pengungsi di tempat lain, mereka diberi perhatian, diberi tempat yang layak. Sandang pangan dapat bantuan. Tapi kami ini, bantuan kompor atau beras miskin saja tidak ada sama sekali," kata Sahidin.

"Seolah-olah kami ini tidak punya pemerintah. Seolah-olah pemerintah menganggap kami ini tidak ada," lanjut Sahidin.

Setahun pasca konflik, para pengungsi masih mendapat bantuan dari donatur. Tapi sejak 2007 atau 2008, bantuan pun berhenti total.

Para pengungsi terpaksa membanting tulang serabutan untuk hidup. Ada yang menjadi tukang pikul di pasar, berjualan sayuran, tukang cukur dan lain-lain.

Penanganan pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito berjalan sangat lambat, bahkan berjalan di tempat. Berbagai janji yang pernah dilontarkan pemerintah daerah tidak ada yang terwujud.

Bupati Lombok Barat terdahulu, Iskandar pernah menjanjikan akan membayar ganti rugi aset lahan milik jamaah Ahmadiyah di Ketapang. Luas aset sekitar dua hektar yang terdiri dari sawah dan tanah bangunan. "Aset Ahmadiyah itu kecil, sedikit. Nanti saya bayar," begitu Sahidin menirukan janji Bupati Iskandar.

Hingga Iskandar meninggal pada 2010, janji itu tidak ditepati. Iskandar meninggal dalam status sebagai tersangka KPK dalam kasus dugaan korupsi tukar guling kantor Bupati senilai Rp36,8 miliar.

Janji Iskandar itu diulang lagi oleh Bupati Lombok Barat yang baru, Zainy Aroni. Namun pembayaran lahan tak kunjung datang.

"Itu aset kami satu-satunya yang masih tersisa," kata Sahidin.

Beberapa tahun lalu pemerintah daerah juga sempat akan merelokasikan para pengungsi ke salah satu pulau. Ada yang menyebut tujuan relokasi adalah Pulau Tangkong atau Pulau Sepi. "Namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.

"Kami menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah. Kami terima saja direlokasi kemana. Asal ada jaminan keamanan," kata Sahidin.


Hak Identitas

Hak-hak dasar sebagai warga negara jauh dari harapan pengungsi Ahmadiyah. Menurut Sahidin, ada 20-an anak yang lahir di tempat pengungsian Wisma Transito. Selama itu pula, 20-an anak itu tidak memiliki Akta Kelahiran. Padahal Akta Kelahiran merupakan hak identitas warga yang harus dipenuhi pemerintah. Kelahiran anak-anak itu seperti tidak masuk dalam sensus jumlah penduduk di Indonesia, dan keberadaannya tidak diakui negara.

"Kami pernah mengurus Akta mereka, tapi tidak diberi oleh pejabat. Ada 20-an anak yang lahir di pengungsian dan semuanya tidak memiliki Akta," kata Sahidin.

Anak-anak yang bersekolah juga mendapat diskriminasi dari sekolah. Saat kenaikan kelas, buku raport anak-anak Ahmadi dibedakan dari non-Ahmadi. Raport anak-anak Ahmadi hanya berupa selembar kertas saja.

Waktu orang tua menanyakan perlakuan itu, pihak sekolah hanya memberi keterangan, 'Ini raport anak-anak Ahmadiyah."

Bila beranjak dewasa, remaja-remaja pun tidak memiliki kartu identitas Kartu Tanda Penduduk. Bahkan pengungsi dewasa pun tidak bisa mengurus KTP elektronik.

"Waktu itu saya mau bikin e-KTP. Kata aparat desa, saya mau dikasih e-KTP. Karena saya juga punya Kartu Keluarga. Waktu saya mengurus KTP ke kelurahan, saya lihat di komputer nama saya ada. Tapi ternyata nama saya dicoret. Tidak dikasih e-KTP," kata Sahidin.

Tanpa kartu identitas, para pengungsi itu pun kehilangan hak-hak lainnya. Mereka tidak bisa mengikuti pemilihan gubernur NTB, pada Mei 2013 lalu. Mereka juga tidak bisa meminta surat keterangan sakit untuk mendapatkan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) maupun jatah beras untuk warga miskin (Raskin).

"Selama di sini kami belum pernah mendapat jatah Raskin," kata Sahidin.

Setiap ada pengungsi yang sakit dan hendak berobat ke rumah sakit, mereka juga tidak bisa minta surat keterangan miskin ke kepala lingkungan atau lurah. "Waktu kami tanya mengapa tidak dapat SKM, jawaban mereka, 'Anda tidak diakui di Kota Mataram. Silakan minta ke Lombok Barat'," keluh Sahidin.

"Tapi kalau kami minta ke tempat Surat Keterangan Miskin ke Lombok Barat, mereka berdalih 'Anda sudah tidak tiggal lagi di sini'. Jadi kami selalu dipingpong," kata Sahidin.

Rasa frustasi membuat beberapa pengungsi mencoba mendapatkan KTP dengan cara 'menembak' ke daerah di luar Mataram dan Lombok Barat. Meskipun untuk mendapatkan KTP 'aspal' harus menebusnya dengan biaya Rp250 ribu.

Namun cara ini juga tidak banyak pengaruhnya. Mereka tetap tidak bisa mendapat Surat Keterangan Miskin maupun jatah beras miskin.

"Kami seolah-olah warga asing di sini," kata Sahidin. "Tapi masih mendingan kalau benar-benar kami berkewarga negaraan asing. Karena ada status. Lah sekarang? Kami ini warga mana? Kami juga bingung."

Pada 2008 jamaah Ahmadiyah sempat hendak mengajukan suaka politik ke pemerintah Australia. Sahidin dan delapan orang perwakilan Ahmadiyah lain mendatangi Kantor Konsulat Jenderal Australia di Denpasar Bali. Permintaan mereka ditolak Australia. Mereka datang lagi untuk ke dua kalinya, tetap saja permintaan suaka menembus tembok.

"Kami masih akan mencoba lagi mengajukan suaka. Kalau masih diperlakukan seperti bukan warga Indonesia," kata Sahidin.


Hari Pengungsi Sedunia

Perserikatan Bangsa-bangsa PBB menaruh perhatian penuh kepada nasib pengungsi, sehingga setiap 20 Juni diperingati sebagai Hari Pengungsi Sedunia. Peringatan itu ditujukan terutama kepada 43,7 juta keluarga yang menjadi pengungsi akibat perang dan kekerasan.

Peringatan itu ditujukan untuk menghargai keberanian, kekuatan dan kebulatan tekada para perempuan, lelaki dan anak-anak yang dipaksa meninggalkan rumah mereka di bawah bayang-bayang ancaman penganiayaan, konflik dan kekerasan.

Tahun ini, Hari Pengungsi Sedunia membawa tema "Jutaan Keluarga Kehilangan Tempat Tinggal karena Kekerasan dan Perang. Satu Keluarga Pengungsi Tanpa Tempat Tinggal Sudah Terlalu Banyak"

Mari bayangkan. Kita menjadi ibu dari anak-anak yang sakit dan kelaparan, dan harus memutuskan antara mempertaruhkan nyawa tinggal di daerah konflik atau meninggalkan segala macam milik mereka untuk mencari tempat aman.


Karena pengungsian, bukan pilihan.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending