KBR, Jakarta - Seribuan lebih mahasiswa Universitas Trisakti mulai berjalan ke Istana Negara.
Mereka membentuk barisan pagar manusia di satu ruas Jalan MH Thamrin menuju Istana. Di depan Istana, para mahasiswa berorasi dan mengatakan kalau Pemerintahan SBY gagal mengusut kekerasan HAM 16 tahun lalu.
Salah seorang perwakilan mahasiswa, Tama, mengatakan tuntutan mereka sama dengan tahun-tahun sebelumnya agar pelaku kekerasan diusut tuntas. Selain itu para korban kekerasan mereka tuntut untuk dijadikan pahlawan dan mereka juga menuntut pemerintah untuk menyantuni para keluarga korban.
Mahasiswa mulai berkumpul sekitar pukul 14.30 dan sekarang panjang barisan mereka mulai dari halte bus Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia mencapai gedung DKPP di dekat Sarinah.
Juru Bicara Mahasiswa Trisakti Randi mengatakan, Panglima TNI saat itu, Wiranto, dan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Prabowo Subianto harus dihukum mati. Sebab keduanya dinilai sebagai dalang penembakan kerumunan massa Trisakti.
"Menuntut untuk kasus 12 Mei untuk tetap diteruskan. Tidak dihapus begitu saja. Yang telah terjadi, kasus abang-abang kami, para pejuang reformasi telah dihapus. Dalang-dalangnya masih bebas. Makanya di sini kita menuntut untuk dalang 12 Mei diadili. Kalau bisa dihukum mati. Dalang-dalang yang terlibat Panglima ABRI dan Pangkostrad," ujar Randi di Jakarta, Senin (12/5).
Enam belas tahun sudah Tragedi Trisakti berlalu. Hingga kini Pemerintah belum dapat mengungkap kasus tersebut. Keluarga korban Tragedi 12 Mei 1998 menuntut pemerintah yang baru mengungap secara tuntas tragedi berdarah tersebut.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas dalam pembubaran aksi unjuk rasa di Jakarta 1998 lalu. Keempat orang tersebut yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan,, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Berkas Kasus penembakan tersebut kini mandek di Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung menilai berkas peristiwa itu tidak cukup bukti untuk ditindaklanjuti.
Editor: Citra Dyah Prastuti