KBR68H,Jakarta - Pemerintah Provinsi Aceh membantah mendapat intervensi dari perusahaan pertambangan asing untuk perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan alih fungsi hutan lindung.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh Husaini mengatakan pemerintah daerah hanya mengajukan perubahan fungsi lahan hutan seluas 0,9 persen dari total hutan lindung di Aceh seluas 3,3 juta hektar. Artinya alih fungsi lahan hutan hanya sekitar 33 ribu hektar.
Sementara, Kementerian Kehutanan mengatakan Gubernur Aceh mengajukan perubahan fungsi hutan sekitar 270-an ribu hektar untuk Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
Menurut Husaini, secara riil 0,9 kawasan hutan Aceh sudah banyak beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dana beberapa infrastruktur publik seperti bandara.
Husaini juga menegaskan Aceh tidak tergantung kepada Moratorium hutan dari Kementerian Kehutanan.
"Mana ada perusahaan yang tidak berizin? Yang berizin saja malah tidak bisa beroperasi. Apalagi yang tidak berizin. Kecuali Pak Gubernur mengeluarkan surat bahwa dalam moratorium itu yang dimoratorium adalah hutan alam. Sedangkan hutan tanaman atau hutan rakyat dan hutan karena HGU itu tidak dimoratorium," kata Husaini ketika dihubungi KBR68H.
Sebelumnya, LSM lingkungan Greenpeace menuding perusahaan tambang East Asia Mining dibalik rencana alih fungsi 1,2 juta hektar hutan lindung di Aceh.
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Yuyun Indradi, tudingan tersebut sudah diakui oleh pihak East Asia Mining. Karenanya, Greenpeace akan bekerjasama dengan pegiat lingkungan di Aceh untuk terus menolak rencana alih lahan hutan tersebut.
Sementara, Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global mencurigai adanya transaksi gelap dibalik rencana pemberian izin alih fungsi hutan di Aceh kepada perusahaan tambang asal Kanada, East Asia Mineral.