KBR, Ambon - Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru membantah berbagai pemberitaan media nasional maupun internasional soal telah terjadinya praktik perbudakan di perusahaan perikanan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang beroperasi di Benjina, Kabupaten kepulauan Aru, provinsi Maluku.
Penjabat Sekda kabupaten kepulauan Aru, Arens Uniplaitta mengatakan, sejak pemberlakuan moratorium oleh kementrian kelautan dan perikanan RI pada bulan Desember 2014 lalu, seluruh pekerja tinggal diatas kapal dan tidak melakukan rutinitas apapun. Kata dia, dirinya telah melakukan kunjungan langsung bersama dengan kapolres kepulauan Aru ke kapal tempat para pekerja tinggal.
"Saya dengan pak kapolres, sudah sejak hari Kamis dan hari Jumat, berturut-turut, bahkan hingga hari ini, adakan tim yang ada diperusahan untuk mengevaluasi, melakukan, identifikasi terhadap laporan ini, jadi perlu saya jelaskan bahwa itu berita yang disampaikan itu adalah berita bohong, berita yang dibuat-buat, seolah-olah ada terjadi perbudakan di perusahan itu.Saya keetemu langsung dengan pimpinan perusahan, untuk menanyakan, kemudian ke lokasi, terkait dengan ruangan yang di olah dimedia itu, seolah-olah itu tempat untuk penyiksaan, tempat untuk perbudakan, padahal itu tidak,itu tempat imigrasi dimana kalau ada perkelahian antara sesama karyawan itu, tempat itulah diamankan karyawan disitu)", jelasnya kepada KBR, Senin (30/3/2015)
Uniplaitta sangat menyesalkan pemberitaan yang sepihak oleh salah satu media internasional Associated Press. Kata dia, perlu ada klarifikasi dan pertanggungjawaban dari media yang menulis berita tersebut, karena menyangkut nama Indonesia di mata dunia internasional.
Kurang lebih 52 unit kapal ikan terkena pemberlakuan moratorium oleh kementrian kelautan dan perikanan. Terkait itu, seluruh pekerja asing PT Pusaka Benjina Resources (PBR) tinggal diatas kapal dan seluruh rutintas pekerjaan di perusahan tersebut sementara dihentikan. ABK (anak buah kapal) PT PBR mencapai 1.196 orang yang berasal dari Thailand, 2 orang warga negara Kamboja dan 20 orang warga negara Myanmar.
Editor: Malika