"Jika kami tak menanam, maka anak-anak kami tak bisa makan"
KBR68H, Jakarta - Siti
Rofi'ah, perempuan asal Lembata, Nusa Tenggara Timur ini bersuara dengan
lirih ketika menceritakan bagaimana anak-anak di Lembata tak bisa makan
nasi. Ketika itu pemerintah sedang menggalakkan kampanye makan nasi. Ia
hanya bisa menyaksikan bahwa anak-anak Lembata tak bisa makan nasi
seperti anak Indonesia lainnya.
Siti Rofi'ah kemudian mengajak para perempuan disana dan mengusahakan berkebun serta menanam tanaman lokal.
"Kami menyangkul, menyiapkan tanah dan kemudian baru bisa menanam"
Ada padi lokal yang mereka rawat , jemawut, jelai, kacang-kacang, dan umbi. Makanan ini kini kembali dapat mereka nikmati.
"Kami hidup di kampung nelayan, sulit untuk menanam tanaman sehat. Kami mengusahakannya, dan ternyata bisa"
Sudah 7 tahun ia berjuang. Anak-anak di Lembata tempat ia tinggal,
sekarang tak hanya bisa makan ikan, namun bisa makan beras, juga
umbi-umbian.
"Dulu kami tak bisa makan beras, karena beras sangat mahal, tak cukup kami beli beras dengan hasil tangkapan ikan"
Cerita Siti Rofi'ah merupakan cerita khas perempuan Indonesia yang
tinggal di pedalaman. kesulitan membeli beras, kesulitan mengakses
harga-harga yang murah membuat mereka harus berpikir keras agar
anak-anak mereka tetap makan dan bisa sekolah. Mereka habiskan hidupnya
untuk mengusahakan pangan untuk anak-anak mereka.
Siti Ro'fiah adalah salah satu perempuan yang hadir dan berbicara dalam
diskusi "Perempuan, Kemandirian Pangan, Pemilu dan Media" yang diadakan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Oxfam, Senin (18/3).
Tejo Wahyu Jatmiko dari Aliansi Desa Sejahtera (ADS) menyatakan, hingga
tahun 2014 ini, kondisi pangan di Indonesia tak juga menunjukkan
perbaikan. Indonesia masih diterpa persoalan dengan datangnya makanan
import, investor besar yang menguasai pangan dan kebijakan lain seperti
kebijakan pangan dan perikanan yang belum menyentuh perempuan.
"Padahal perempuan adalah orang yang menanam, mengolah makanan dan
memproduksinya, namun sayang hingga hari ini banyak kebijakan yang tak
berpihak pada perempuan," ujar Tejo Wahyu Jatmiko
Salah satu Caleg dari PDI Perjuangan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus
menyatakan bahwa pangan masih menjadi komoditas ekonomi dan politik. Hal
ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang masih mengimpor beras, lada, garam, kedelai.
Anggota Komnas Perempuan, Saur Situmorang memaparkan data tentang banyak
anak-anak di pedalaman yang kemudian bisa bersekolah karena para ibu
yang bekerja keras untuk mengusahakan pangan. Mereka tak cuma menanam,
tetapi juga sekaligus menjadi nelayan.
"Sulit untuk memisahkan antara kerja pertanian dan nelayan bagi para
perempuan yang saya temui. Umumnya jika sedang tak melaut maka mereka
akan menanam beragam tanaman agar dapur tetap mengepul dan anak-anak
mereka bisa makan"
Para perempuan ini umumnya sabar dalam mengelola tanah pertanian dan
menjadi nelayan. Hal ini biasanya tak ditemui pada laki-laki disana.
"Banyak laki-laki yang tidak tahan ketika kemarau panjang dan musim
hujan panjang datang, mereka pergi dari rumah dan menikah lagi.
Disinilah titik penindasan terhadap para petani perempuan terjadi,"ujar
Saur.
Saur menyatakan bahwa bertani bukanlah pekerjaan perempuan saja.
Seharusnya ini menjadi tanggungjawab bersama seluruh keluarga. Namun
Saur Situmorang menyatakan lega karena kini telah lahir banyak perempuan
pejuang pangan lokal yang mengelola pangan hingga memproduksinya.
"Perempuan tak hanya menanam pangan, namun juga menyelamatkan kehidupan anak-anak mereka"