KBR68H, Jakarta - Di tengah
banjirnya makanan impor yang datang, ada 7 perempuan pangan lokal yang
berjuang dalam diam. Mereka tak gentar ketika pangan lokal dianggap
sebagai makanan yang kurang modern dan tidak bergizi.
Mereka adalah pembuat terasi ketika udang rebon telah hilang. Mereka
adalah penanam padi lokal, mengusahakan agar jemawut, jelai,
kacang-kacang, dan umbi tetap ada, ketika masyarakat sudah sulit
mendapatkannya.
Kisah 7 perempuan pejuang pangan ini begitu memukau ketika mereka
menuturkan kehidupan sehari-hari, bagaimana mereka berjuang agar pangan
lokal tetap hadir di tengah gempuran industri pangan. 7 perempuan ini
hadir dalam sebuah diskusi South to South Film Festival, Minggu (16/3).
Masyarakat mengaku lega dengan masih adanya perempuan pejuang seperti ini.
Ada Mama Robecca dari Nabire yang mengajak para perempuan janda agar
tidak tergantung lagi dengan beras. Mereka membuat ubi lokal menjadi
makanan bervariasi agar tak kalah dengan nasi.
Perempuan lain Sitti Rahmah dari Pittusunggu, Sulawesi Selatan. Ia
mengaktivasi lahan tidur yang tercemar air asin menjadi kebun sayur
organik, sehingga dapat dijadikan sumber penghasilan keluarga. Sitti
Rahmah mematahkan anggapan bahwa perempuan cuma bisa mengeluh. Padahal
perempuan juga bisa terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan
Kemudian perempuan lain yaitu Jumiyati dari Sei Nagalawan, Serdang Bedagai,
Sumaterata Utara. Bersama kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung,
Jumiyati membangun benteng mangrove. Lebatnya hutan mangrove kemudian
diolah menjadi aneka makanan seperti kerupuk, sirup, dodol, teh, dan
tepung kue.
Parjiyem, adalah perempuan berikutnya. Ia mengubah wajah Gunung Kidul,
Yogyakarta tempatnya hidup dengan cara mengolah ubi makanan khas Gunung
Kidul menjadi aneka tepung lokal.
Marlina Rambu Meha, asal Mbatakapitu, Sumba Timur kemudian juga
menggulirkan perubahan sejak Tahun 2000. Lewat kain tenun dengan pewarna
alam, ia mulai menggerakan perekonomian lokal sehingga banyak perempuan
Sumbawa mempunyai mata pencaharian sendiri.
Sukses mempromosikan pangan lokal di Lembor, Manggarai Barat, siti
Ro’fiah sal Lembata, NTT kembali melakukan perjuangan. Perjuangan ini
diawali dari kegelisahan Siti Ro’fiah melihat 90% kebutuhan pangan di
Lembata berasal dari luar wilayah padahal lahan pertaniannya Subur.
Lewat kebun bersama tanaman lokal: padi lokal, jemawut, jelai,
kacang-kacang, dan umbi kembali dapat dinikmati.
Dan di Jakarta ada Habibah, yang sehari-hari tinggal di Marunda Kepu,
Cilincing Jakarta. Ia membuat usaha terasi andalan sejak udang rebon
tidak ada lagi seiring dengan hilangnya mangrove di pesisir Jakarta.
Tujuh perempuan ini membuktikan bahwa pangan lokal yang selama ini
seringkali diremehkan dan dianggap tak bergengsi dibandingkan dengan
pangan impor, ternyata memiliki nilai gizi yang tak kalah tinggi serta
nilai ekonomisnya pun bisa untuk mendukung dapur keluarga agar tetap
mengebul.
Ketujuh perempuan ini sebelumnya penghargaan “Female Food Heroes
Indonesia” tahun 2013 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional,
pada 8 Maret tahun lalu. Penghargaan tersebut diberikan atas dedikasi
mereka untuk menghadirkan pangan dan menghindari bencana kelaparan
masyarakat di sekitarnya.
Mengenal 7 Perempuan Pejuang Pangan Lokal
KBR68H, Jakarta - Di tengah banjirnya makanan impor yang datang, ada 7 perempuan pangan lokal yang berjuang dalam diam.

NUSANTARA
Senin, 17 Mar 2014 11:53 WIB


perempuan, pejuang, pangan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai