Bagikan:

Kami Tak Pernah Malu Makan Tiwul

Walaupun makan tiwul, tidak kalah dengan bubur

NUSANTARA

Rabu, 19 Mar 2014 12:25 WIB

Author

Luviana

Kami Tak Pernah Malu Makan Tiwul

suparjiyem, pangan, gunungkidul

KBR68H, Jakarta - Suparjiyem, perempuan asal Semanu, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta ini awalnya merasa prihatin ketika masyarakat Gunungkidul merasa malu ketika makan tiwul. Mbak Par, begitu ia biasa dipanggil, sering menyaksikan warga yang makan tiwul secara sembunyi-sembunyi.

"Ada perasaan malu karena tiwul derajatnya memang di bawah kelas dibandingkan dengan nasi."

Orang memang lebih bangga ketika memakan nasi. Tiwul, makanan yang terbuat dari ketela dan singkong yang kemudian dibuat menjadi gaplek ini memang kala itu selalu identik dengan udik, dekil, dan kampungan. Padahal kondisi Gunungkidul yang gersang dan sering menghadapi kekeringan, membuat masyarakat tak bisa menjadi penghasil beras yang baik. Harga beras mahal, nasi menjadi barang yang mewah. Maka mereka harus makan tiwul.

Kondisi masyarakat yang merasa malu untuk makan tiwul ini terjadi ketika pemerintah orde baru mulai melakukan kampanye gerakan makan nasi. Padahal menurut Suparjiyem yang kami temui di Jakarta senin (18/3),  ketika itu pemerintah tidak melihat ada banyak warganya yang tak bisa makan nasi karena keringnya tanah-tanah disana. Bantuan beras miskin yang dikirim pemerintah di tahun 1980 tak menyelesaikan masalah.

Di akhir tahun 1980 itulah Suparjiyem kemudian memutar otak. Awalnya ia mencoba membuat tiwul menjadi tepung. Tiwul kemudian digoreng menjadi kue-kue yang bisa dijual di pasar-pasar tradisional di Wonosari. Ternyata ada perasaan berbeda ketika mereka makan tiwul dalam bentuk yang lain.

"Ada perasaan bangga, saya sering ditanya ibu-ibu yang sedang ke pasar, kog bisa buat tepung dan kue dari tiwul? Kreatif banget kamu Par. Dari situ saya berpikir bahwa walaupun makan tiwul, tapi tidak pernah kalah dengan bubur, ini seperti lagu nusantara yang dulu sering dinyanyikan di sekolah ketika kami kecil."

Sejak itulah maka Suparjiyem menjadi percaya diri. Ia terus berusaha membuat beragam makanan dari tiwul. Selain tepung dan kue tiwul, juga ada keripik tiwul, bubur tiwul. Suparjiyem kemudian mengajak para perempuan disana untuk berpikir bagaimana mengusahakan banyak makanan pengganti selain nasi.

Di saat itulah mereka mencoba makanan pengganti lainnya yang bisa diolah. Jagung bisa mereka buat menjadi tepung jagung dan keripik jagung . Cantel atau sorghum bisa menjadi makanan ringan. Juga ada gethuk ayu, tiwul ayu, gethuk goreng dan berbagai macam mie yang dibuat dari tepung jagung, singkong, ubi dan canthel. Kreativitas dalam membuat makanan ini membuat mereka juga berusaha keras mengusahakan sayuran untuk menjadi makanan yang dihidangkan bersama tiwul.

"Karena tiwul rasanya agak hambar, maka kami kemudian membuat sayur cabe hijau atau  sayur lombok ijo yang pedas biar tiwul tidak terasa hambar jika dimakan."

kelompok perempuan yang dirintis Suparjiyem kemudian membesar hingga sekarang. Mereka telah mempunyai banyak jaringan perempuan dan petani di 18 kecamatan di Gunungkidul yang mengolah makanan-makanan lokal dan dijual ke pasar tradisional dan toko-toko di Gunungkidul. Sebagian besar warga di luar Gunungkidul datang dan membawanya untuk oleh-oleh.

Tak hanya mengusahakan makanan lokal, namun mereka juga mengusahakan makanan ikan olahan yang kemudian dibuat terasi dan abon ikan.

"Ketika musim panen, maka kami membuat dan menjual makanan lokal, namun ketika musim tanam tiba maka kami kemudian membuat makanan olahan dari ikan. Begitulah siklus pekerjan perempuan di Gunungkidul."

Dua puluh empat tahun sudah Suparjiyem mengorganisir perempuan petani di daerahnya. Sekarang, setiap hari yang ia lakukan adalah mengorganisir ibu-ibu di 18 kelompok kecamatan. Mereka juga membuat koperasi simpan pinjam bagi para anggotanya.

"Dari hasil berjualan, keuntungan yang diperoleh per-orang kira-kira 20 ribu hingga 50 ribu rupiah perharinya. Dengan koperasi ini sekarang ibu-ibu bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bisa membeli motor dan memperbaiki rumah."

Suparjiyem kemudian dinobatkan sebagai salah 1 dari 7 perempuan pejuang lokal “Female Food Heroes Indonesia” tahun 2013 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional,  pada 8 Maret tahun lalu. Penghargaan tersebut diberikan atas dedikasinya untuk menghadirkan pangan dan menghindari bencana kelaparan masyarakat di sekitarnya.

Suparjiyem terbukti, tak hanya mampu mempertahankan pangan lokal. Namun perjuangannya selalu menjadi pengingat bahwa masyarakat tak boleh malu jika makan tiwul.

"Tak ada alasan lagi untuk malu jika makan Tiwul. Karena kami bisa membuktikan, bahwa tiwul tak pernah kalah dengan bubur."


(baca juga: 7 Perempuan Pejuang Pangan)

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending