Bagikan:

Biji Sera'e Dan Titik Balik Hidup Robecca

Ia Tak Pernah Kembali

NUSANTARA

Jumat, 21 Mar 2014 15:38 WIB

Author

Luviana

Biji Sera'e Dan Titik Balik Hidup Robecca

robecca, papua, pangan

Ia Tak Pernah Kembali

KBR68H, Jakarta - Robecca Rumainum mengingat masa itu sebagai masa terkelam dalam hidupnya. Ketika suaminya menderita malaria akut dan rumah sakit tak lagi bisa mengobati. Jarak Samabusa ke kota Nabire hanya bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan perahu. Nyawa suaminya tak tertolong.

Inilah yang menyebabkan suaminya, Piet Baransano pergi selamanya. Ia menyebut, masa itu adalah masa yang terburuk bagi keluarganya. Hidupnya seperti berhenti berputar.

"Bagaimana tidak, ada 3 orang anak yang masih kecil-kecil yang harus saya hidupi. Tanah kami tak punya, saya bekerja sebagai nelayan, serabutan.”

Namun Robecca tak sendiri. Ada banyak perempuan janda di Samabusa, Nabire, Papua yang mencoba menguatkan hidupnya.


Robecca dan Biji Sera'e

Awalnya adalah biji sera’e yang ia tanam. Biji itu ia tanam di depan pekarangannya yang sempit. Sera’e adalah sejenis umbi-umbian yang tumbuh di Kampung Samabusa, Nabire. Tanaman ini sebenarnya merupakan bahan makanan pokok Suku Wate, suku asli pesisir Nabire dan sudah dikonsumsi sejak nenek moyang mereka. Namun masuknya beras dan berbagai jenis makanan dari luar Papua, membuat sera'e tak lagi dikonsumsi.

Kebanyakan lalu tak mau mengkonsumsi Sera’e karena beras dianggap lebih enak walaupun harganya sangat mahal. Kondisi ini makin parah sejak kebijakan beras untuk orang miskin atau raskin datang dari pemerintah. Banyak makanan pokok di Papua yang kemudian ditinggalkan.

Sera’e adalah tanaman yang tumbuh secara liar di hutan. Tak hanya datangnya raskin, namun sejak berkembangnya perusahaan kayu dan pembangunan dermaga, sera’e dan keladi semakin menghilang.

Sera’e kemudian menjadi pembuka hidupnya bahwa ia memang harus kembali berkebun, aktivitas yang sudah lama ia tinggalkan sejak ia tak lagi tinggal di Biak, Papua.


Perubahan Hidup Dan Kenangan Masa Kecil


Sejak menikah dengan Piet Baransano, ia pindah mengikuti suaminya yang bekerja sebagai guru di Nabire.

SMP pun ia tak lulus. Ia pindah ke Nabire sejak tahun 1973.

Masa kecil Robecca dihabiskan di Wamena, rumahnya berada diapit oleh banyk perbukitan. Maka ia kemudian biasa menanam sayur-mayur dan umbi-umbian.

Namun setelah menikah, ia pindah ke Nabire. Di Nabire ia sempat mengalami frustasi. Ia tinggal di kampung nelayan yang tanahnya tak bisa ditanami. Robecca hanya bisa mencari ikan di laut.

Merekapun menjadi nelayan dan meninggalkan kebiasaan menanam.

"Rumah kami dekat laut, sulit untuk ditanami sayur-sayuran. Dulu sayur harus membeli di pasar padahal harga-harga mahal,”ujar Robecca yang ditemui di Jakarta.

Namun kisah hidupnya berbalik arah ketika terjadi kematian suaminya. Ia harus mencari nafkah keluarga sendiri dan harus bekerja lebih keras. Ia kemudian mengambil alih semua tugas seorang laki-laki dan perempuan dalam keluarga.

"Ini seperti memutar arus hidup saya. saya harus ambil alih ekonomi keluarga. Tentu bukan pekerjaan mudah, ditinggalkan suami dan saya harus mengurus semuanya sendiri."


Titik Balik Hidup

Jika dulu Robecca hanya bisa menanam biji-biji sera’e di pekarangannya yang sempit, namun sekarang 10 tahun kemudian, dialah yang mengumpulkan banyak perempuan janda untuk mengumpulkan modal

bersama. Tak hanya menanam sera’e namun kemudian juga menanam sayuran dan buah-buahan di pekarangan yang telah ia miliki sendiri. Setiap hari kerjanya adalah berkebun. Ia mengajak para

perempuan dan janda-janda di Samabusa untuk berpikir tentang makanan murah dari tanaman-tanaman lokal. Robecca mengajak mereka untuk menanam sayuran, umbi, wortel dan sayuran lainnya.

"Saya bilang pada para perempuan janda, tak baik duduk-duduk saja dan meratapi nasib. Lebih bak, ayo kita berkebun."

Selesai berkebun, mereka lalu menjual Sera’e dan banyak sayuran dengan harga murah ke pasar Nabire.

Kini mereka mempunyai lahan pertanian sendiri. Robecca mempunyai tanah 2 hektar yang ia tanami semua. Jika dulu makan sayur merupakan kebutuhan mewah, kini anak-anaknya sudah tumbuh besar dan

sehat. Tiga anaknya sudah dewasa dan duduk di sekolah SMA dan SMP. Semua perempuan janda di Samabusa mengalami kondisi yang sama. Mereka mempunyai tanah sendiri dan mengusahakannya.

Masa kecilnya juga meninggalnya Piet Baransano, suaminya selalu menjadi pengingat agar ia selalu berkebun.

Biji Sera’e adalah titik balik hidupnya.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending