KBR – Institut Ecosoc mendesak pemerintah melakukan audit perizinan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah.
Peneliti Ecosoc, Sri Palupi mengatakan, izin di sejumlah daerah di provinsi tersebut tidak terkendali. Kata dia, Ecosoc mencatat di Kabupaten Barito Utara dan Kapuas, luas perizinan sawitnya melebih luas kabupatennya sendiri. Selain itu, baru sedikit perusahaan yang memiliki izin yang jelas.
"Ada 496 unit usaha perkebunan, 300 yang aktif tetapi kalau kita lihat datanya hanya 85 yang punya izin berkategori clear and clean. Bayangkan 85 dari 300. Izin nyaris tak terkendali, kita lihat dua kabupaten luasan perizinannya itu melebihi luasan kabupaten, yaitu Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Kapuas. Dan tiga kabupaten lainnya, nyaris hampir seluas kabupatennya," kata Sri Palupi di Jakarta, Selasa (27/1).
Sri menambahkan, di Kalimantan Tengah terdapat 45 persen dari 436 perusahaan yang bermasalah dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal)-nya. Kata dia, pemerintah juga harus menyelesaikan tata ruang di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten agar sistem perijinan dapat dibenahi. Data Ecosoc menyebutkan lahan di Kalimantan Tengah hanya tersisa 2 juta hektare.
Selain itu, kata dia, industri perkebunan sawit di provinsi itu banyak merampas hak-hak asasi masyarakat lokal. Selama ini, kata Sri, investasi sawit tidak berdampak pada kesejahteraan. Walau pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah melebihi nasional, tetapi lebih dari 60 persen desanya tertinggal. Selain itu, banyak terjadi perampasan lahan oleh perusahaan, lantaran warga jarang yang memiliki sertifikat.
"Ada desa-desa 75-90 persen warganya sudah kehilangan tanah dan berubah status menjadi buruh perkebunan sawit. Yang paling nyata terlihat adalah perampasan lahan, kalau kita lihat data dari provinsi Kalteng, hampir 60 persen warga Kalteng tidak memiliki sertifikat tanah. Artinya nggak ada kepastian jaminan hak, sewaktu-waktu bisa diambil, dan memang sewaktu-waktu mereka pergi ke kebun lahan itu bisa lahan dengan mudah," kata Sri Palupi.
Saat ini, lanjut dia, Kalimantan Tengah menjadi daerah rawan konflik. Baik konflik antarwarga, antara warga dengan perusahaan, warga dengan pemerintah, maupun konflik antarperusahaan.
Konflik-konflik ini membelah masyarakat menjadi tiga kelompok, yakni pihak yang pro sawit, kontra sawit dan tidak peduli. Riset Institute Ecosoc dilakukan sekitar dua tahun di tiga kabupaten di Kalimantan Tengah yakni di Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Dipilihnya Kalimantan Tengah dikarenakan provinsi ini ditetapkan sebagai pilot provinsi program Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan atau REDD plus.
Editor: Anto Sidharta
Ecosoc Ungkap Karut Marut Industri Sawit di Kalteng
Institut Ecosoc mendesak pemerintah melakukan audit perizinan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah.

NUSANTARA
Selasa, 27 Jan 2015 17:57 WIB


Ecosoc, Sawit di Kalteng
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai