KBR, Jakarta - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas melontarkan gagasan penerapan denda damai pelaku tindak pidana korupsi sebagai penyelesaian kasus di luar pengadilan.
"Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor, karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu," kata Supratman, dikutip dari ANTARA, Rabu (25/12/2024).
Wacana ini menuai sorotan luas, hingga akhirnya Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengklarifikasi pernyataan itu, dua hari kemudian.
Supratman mengeklaim tidak ada maksud sama sekali dari pemerintah untuk menempuh denda damai dalam kasus korupsi. Dia berdalih hanya menggunakan istilah denda damai pada tindak pidana ekonomi sebagai pembanding.
"Itu hanya compare bahwa ada aturan yang mengatur (denda damai), tetapi bukan berarti presiden akan menempuh itu, sama sekali tidak, karena bukan domain presiden soal denda damai tadi. Itu adalah kewenangan yang diberikan kepada jaksa agung. Tetapi sekali lagi untuk tindak pidana korupsi itu hanya sebagai pembanding bahwa ada aturan yang mengatur soal itu," ucapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Supratman pun meminta wacana denda damai untuk koruptor itu dihentikan. Ia juga meminta maaf ke publik atas lontaran wacana yang menghebohkan itu.
"Sekali lagi, ini kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, ya saya menyatakan saya mohon maaf, tetapi sekali lagi, itu hanya contoh atau komparasi terhadap penyelesaian tindak pidana yang terkait dengan merugikan perekonomian negara di bidang tindak pidana ekonomi dengan tindak pidana korupsi," kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum, dikutip dari ANTARA, Jumat (27/12/2024).
Wacana denda damai bagi para koruptor itu muncul usai Presiden Prabowo Subianto ingin memaafkan koruptor asal mengembalikan hasil curian.
Pernyataan Prabowo ini juga menuai kontroversi. Hingga akhirnya Prabowo membantah akan mengampuni koruptor. Menurutnya, ia hanya mempersilakan para koruptor itu untuk bertaubat.
"Bukan saya maafkan koruptor, tidak. Saya mau sadarkan mereka yang sudah terlanjur dulu berbuat dosa. Ya bertobatlah, itu kan ajaran agama. Bertobatlah kasihan rakyat. Kembalikan uang itu, kita cari hartamu ke mana kita akan cari," katanya.
Baca juga:
- Penjelasan Menteri Hukum Soal Denda Damai dan Memaafkan Koruptor
- Prabowo Bantah Bakal Maafkan Koruptor!
Tidak bisa diterapkan
Juru bicara Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi. Denda damai hanya untuk kasus-kasus pidana kepabeanan, cukai dan kasus pidana ekonomi lainnya.
“Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) huruf k, kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” ucapnya melalui keterangan yang diterima KBR, Jumat (27/12/2024).
Pakar hukum tata negara yang juga bekas Menko Polhukam Mahfud MD mengkritik wacana pengampunan korupsi melalui denda damai. Mahfud menegaskan, tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan secara damai.
"Itu diatur di dalam Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan Agung yang terbaru, dan itu jelas di dalam Pasal 35 dan penjelasannya itu hanya untuk tindak pidana ekonomi tertentu, korupsi enggak masuk di situ. Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru nih, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran, itu bahaya nanti. Setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan, itu tidak bagus, cara kita bernegara," kata Mahfud kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).
Mahfud MD merujuk Pasal 35 huruf k Undang-Undang Kejaksaan Agung. Pasal itu menyebutkan, jaksa agung bertugas dan berwenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, pengembalian kerugian ekonomi negara tidak berarti menghapuskan hukuman pidananya.
Peneliti dari lembaga pemantau korupsi ICW Diky Anandya mendesak pemerintah berhenti melontarkan pernyataan soal upaya pemberantasan korupsi yang tidak memiliki dasar hukum jelas.
Ia justru menyarankan pemerintah mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bersama DPR jika ingin aset pidana korupsi kembali ke kas negara. "Dengan langkah konkret misalnya pemerintah bisa segera mengeluarkan surat presiden kepada DPR. Karena kalau kita berkaca dalam regulasi hukum yang ada saat ini, baik dalam UU Tipikor maupun UU TPPU, dipandang belum cukup efektif untuk merampas aset hasil tindak pidana korupsi," tuturnya kepada KBR, Jumat (27/12/2024). Diky mengatakan jika ingin serius memberantas korupsi, semestinya dilakukan perampasan asset koruptor dan hukuman berat bagi pelakunya.
Diky mengingatkan, dari catatan ICW, setiap tahun justru terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang divonis ringan oleh pengadilan.
Baca juga: