KBR, Jakarta - Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mendorong pemerintah menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku mulai tahun depan. Dorongan itu makin menguat usai muncul penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan petisi agar Presiden Prabowo Subianto membatalkan kebijakan tersebut.
Menurutnya, pemerintah bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu guna menunda kenaikan PPN.
"Lebih kepada penundaan sementara untuk tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, karena itu yang kemudian dirasa memberatkan," ujarnya kepada KBR, Kamis (19/12/2024).
Yusuf menyadari, kenaikan PPN merupakan mandat Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP).
"Saya juga mengerti bahwa pemerintah mengacu pada UU HPP untuk menjalankan ya, tapi sebenarnya pemerintah juga masih punya opsi misalnya untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang," ujarnya.
Lanjut dia, penundaan bisa dilakukan sampai dengan jangka waktu yang disepakati. Kuncinya kata dia, harus memperhatikan daya beli masyarakat.
"Di dalamnya mengatur untuk sementara waktu tarif PPN ini tidak dijalankan pada periode waktu yang disepakati pemerintah. Misalnya periode waktunya melihat sejauh mana pemerintah dapat meningkatkan daya beli masyarakat atau misalnya sejauh mana pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi. Jadi ini indikator-indikator yang kemudian dimasukkan ke dalam perppu yang dimaksud," jelasnya.
Gerakan menolak PPN 12 persen kini muncul, salah satunya melalui petisi yang diunggah di situs change.org. Petisi itu digagas Bareng Warga sejak 19 November 2024 ditujukan untuk Presiden Prabowo Subianto.
Isi petisi meminta pemerintah segera membatalkan kenaikan PPN. Per Kamis (19/12/2024) pukul 15.57 WIB, sudah ada 119.973 ribu yang meneken petisi dengan target 150 ribu.
Ada Peluang
Selain menerbitkan perppu, opsi penundaan sebetulnya juga ada dalam undang-undang. Di Pasal 7 Ayat 1 huruf b UU HPP tertulis: "Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025."
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, pemerintah masih punya kesempatan untuk membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen.
Dia bilang, peluang pembatalan itu diatur di Pasal 7 Ayat 3 dan 4.
"Ada pasal 7 nomor 3 dan 4 yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN di rentang 5 persen hingga 15 persen melalui penetapan peraturan pemerintah," ujar Nailul kepada KBR, Senin (18/11/2024).
Pasal 7 Ayat 3 UU HPP berbunyi: "Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)."
Sedangkan Ayat 4 berbunyi: "Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Ratryat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."
Baca juga: